Qomaruddin.com – Judul ini saya tulis hanya untuk menarik perhatian pembaca. Sebenarnya yang saya bahas dalam tulisan ini bukan itu. Yang saya bahas adalah orang musyrik. Walaupun sering digunakan bergantian, sebenarnya dua istilah ini tidak persis sama.
Persamaan dan perbedaannya tidak akan saya tulis di sini. Kepanjangan. Silakan cari sendiri. Sekarang, mari kita bahas apa yang (harusnya) ada di dalam judul; musyrik kok istigfār! Semuanya berawal dari sebuah kejadian di siang hari.
Siang itu sepupu saya mendapat giliran menjadi khatib sekaligus imam salat Jumat. Dia menyampaikan renungan-renungan awal tahun, karena itu memang pekan kedua bulan Muharram, bulan Hijriyah pertama. Salah satu hal yang ia ingatkan adalah istigfār.
Termasuk sederetan faedah kalimah ṭayyibah ini adalah menggagalkan azab, menolak balak. Sepupu saya mengutip Q. 8 (al-Anfāl): 33, wa-mā kānallāhu li-yu’ażżibahum wa-anta fīhim wa-mā kānallāhu mu’ażżibahum wa-hum yastagfirūna, yang dalam al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama Edisi Penyempurnaan 2019 diterjemahkan “Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selama mereka memohon ampunan.”
Mendengar penjelasan sepupu saya itu, saya merasa agak aneh. Padahal kalau dipikir-pikir, yang dia sampaikan tidak melenceng dari teks ayat, “tapi kok aneh, ya?” gemericik saya dalam hati. Saya terus bertanya-tanya kenapa, selama khutbah pertama, khutbah kedua (walaupun sempat mengantuk sebentar), selama salat Jumat, juga selama salat i’ādah.
Setelah di rumah saya baru ingat. Malam Rabu sebelumnya saya mendengar sebuah ceramah oleh seorang syekh dari Yaman. Saya mendengarnya melalui fitur live stream Youtube. Akhir-akhir ini, “Youtube-an barokah” memang sedang marak.
Dalam ceramahnya, sang syekh juga berbicara tentang ayat yang sama, namun dengan penjelasan dan penekanan yang berbeda. Kalau sepupu saya lebih fokus pada istigfār, sang syekh lebih banyak berbicara tentang kehadiran Nabi. Dua-duanya dijelaskan sebagai sebab azab tidak jadi turun.
Lebih jauh, sang syekh menjelaskan bahwa sekarang ini salah satu yang bisa kita lakukan adalah menghadirkan kembali Nabi di tengah-tengah kita. Caranya? Dengan mengadakan peringatan maulid, majelis-majelis selawat, dan semacamnya—just FYI, beliau memberi ceramah untuk acara pembacaan maulid. Tapi yang lebih ampuh, lanjut beliau, kita hadirkan ajarannya, teladan hidupnya, dan menjadi pengikut Nabi dalam arti yang sebenar-benarnya. Subhanallah!
Baik penjelasan dari sepupu saya, maupun dari sang syekh, dua-duanya masuk akal. Dua-duanya layak dijadikan dasar untuk menjalani hidup setahun ke depan. Namun, ada perbedaan yang unik; satu lebih ketat mengikuti teks (sepupu saya), yang satu lagi seperti lebih luwes sehingga bisa dikaitkan dengan tradisi keagamaan yang dihidupi umat Islam hari-hari ini.
Karena merasa seru, saya akhirnya tergerak untuk melihat lebih lengkap tafsir-tafsir apa saja yang pernah disampaikan untuk ayat ini. Lalu saya ingin tahu dimana letak dua pendapat tadi dalam bahtera tafsir yang telah ada. Mumpung mode anak saleh sedang aktif.
Sebelum masuk ke penjelasan dari kitab, saya perlu memberi catatan bahwa ayat ini menyampaikan respon Allah terhadap perilaku orang musyrik. Jadi pada saat itu, orang-orang ini menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada Nabi dan al-Qur’an, lalu menantang Nabi dan bahkan Allah.
“… Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini adalah kebenaran dari sisi-Mu, hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang sangat pedih,” kata mereka.
Allah lalu merespon, yang kurang lebih begini jika diterjemahkan bebas, “lah bagaimana Allah mau menurunkan azab, wong engkau (Muhammad) masih ada di situ? Kalaupun engkau pergi, di situ juga masih ada orang-orang yang ber-istigfār.”
Nah, dari sini, ulama lalu mulai mengajukan beberapa pendapat. Namun, tema intinya sama; menggagalkan turunnya azab (intifā`/daf’ al-‘ażāb).
Tentang separuh ayat pertama, ulama ahli tafsir sejak generasi sahabat sampai sekarang sepakat bahwa yang bisa menjadi sebab azab tidak jadi diturunkan adalah kehadiran Nabi secara fisik. Sekali lagi, secara fisik. Ini sudah menjadi sunnatullāh (ada beberapa yang menyebut ‘ādatullāh) bukan hanya pada Nabi Muhammad, tapi juga pada para nabi yang lain. Kaum-kaum dulu itu baru diazab setelah nabinya tidak bersama mereka, istilahnya ikhrāj “dikeluarkan (/pindah)”.
Baru pada separuh kedua, ulama mulai berbeda pendapat, mulai dari apakah istigfār itu memang dilakukan atau cuma sindiran; jika memang dilakukan, siapa pelakunya; apakah mungkin orang musyrik melakukan istigfār; apakah istigfār itu benar-benar bermakna istigfār, dan; alasan pemilihan gaya bahasa. Dari semua pertanyaan ini, ada yang selalu ada sejak zaman sahabat sampai zaman sekarang. Ada juga yang hanya disampaikan oleh ulama-ulama tertentu.
Dalam kitab tafsir (termasuk) tertua yang sampai ke kita, yaitu Tafsīr Mujāhid dan Tafsīr Muqātil, yang terekam hanya perdebatan tentang makna istigfār. Mujāhid (w. 102/722) mengajukan dua makna; yuslimūna (masuk Islam) dan yuṣallūna (melakukan salat), tanpa memberikan penjelasan tentang pelaku (fā’il).
Muqātil (w. 150/767) lah yang secara tidak langsung melengkapi. Ia memaknai istigfār di sini sebagai yuṣallūna, sama dengan yang ada di Q. 51 (aż-Żāriyāt):18 wa-bil-asḥāri hum (al-muttaqūn) yastagfirūna.
Yang pasti, nama-nama besar mufasir abad pertama seperti Ibn ‘Abbās (w. 68/687) dan aḍ-Ḍaḥḥāk b. Muzāḥim (w. 105/723) mendukung pendapat ini, yastagfirūna bermakna yuṣallūna. Dalam benak mereka, sepertinya, yang melakukan istigfār pastinya orang mukmin atau orang yang bertakwa, yang belum mungkin ikut Nabi hijrah ke Madinah.
Diskusi kemudian bergeser ke pelaku, siapa yang melakukan istigfār. Perlu dicatat, ketika mendiskusikan pelaku, sepertinya para ulama memaknai istigfār sebagai istigfār, bukan sebagai salat atau yang lainnya. Pertanyaan ini juga sudah muncul sejak abad pertama hijriyah. Kita mulai dengan Mujāhid. Seperti Muqātil, sepertinya ia menjatuhkan status pelaku pada orang-orang yang bertakwa (al-muttaqūn).
Tapi, nah, ini yang unik, Ibn ‘Abbās tidak begitu. Dalam riwayat yang bisa ditemui, misalnya, di kitab Tafsir aṭ-Ṭabarī, dijelaskan bahwa menurut Ibn ‘Abbās, orang musyrik telah memiliki tradisi ṭawāf di sekitar Ka’bah sambil mengucapkan beberapa bacaan, salah satunya istigfār.
Melalui aṭ-Ṭabarī (w. 310/923) kita juga bisa menelusuri pendapat-pendapat yang muncul di abad kedua. Ternyata ulama tafsir abad ini masih membahas pertanyaan-pertanyaan tadi. Tapi, ada juga sisi lain dari ayat ini yang baru didiskusikan.
Sisi itu adalah bahwa yang istigfār memang orang musyrik, namun bukan karena tradisi. Mereka memohon ampun karena menyesal telah menantang Nabi dan Allah. Muḥammad b. Qais termasuk pengikut pendapat yang terakhir ini.
Membaca ini, saya bertanya-tanya, “ya masa orang musyrik ber-istigfār? Masa ya ngefek?” Ternyata dijawab oleh salah satu kitab. Wal-istigfāru wa-in waqa’a min al-fujjāri yudfa’u bihī ḍarbun min asy-syurūri wal-aḍrāri, “istigfār itu, walaupun diucapkan oleh orang yang sangat jelek sekali pun, bisa menjadi sebab tertolaknya hal-hal buruk dan mara bahaya.”
Ini adalah hal-hal yang (hampir) selalu ada dalam semua kitab tafsir; perdebatan tentang apa makna istigfār, siapa yang melakukannya, dan kenapa. Pendapat yang muncul ya sekitar empat tadi itu.
Pendapat ini kemudian direkam dalam berbagai kitab tafsir yang muncul setelahnya, dari yang tahun wafatnya berkepala enam (abad ketujuh), seperti Muḥammad Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī (w. 604/1210), hingga yang wafat tahun 2000an, seperti Wahbah az-Zuḥailī (w. 2015). Di antara itu ada Syihābuddīn Maḥmūd al-Alūsī (w. 1270/1854) dan Muḥammad Nawawī b. ‘Umar al-Bantānī (w. 1897), misalnya.
Namun, kitab-kitab tafsir ‘muda’ tidak cuma meriwayatkan pendapat yang telah ada. Mereka juga membuka ruang diskusi baru. Hal-hal baru ini ada yang muncul sekali lalu hilang, ada juga yang ikut muncul sampai sekarang. Tapi rasanya kita tidak perlu membahas itu di tulisan ini. Maḥall syāhid-nya sudah ada.
Dari penjelasan yang ada, terlihat bahwa penjelasan sepupu saya adalah yang masih manut penjelasan kitab-kitab yang mainstream (umum) dikaji.
Penjelasan sang syekh tentunya diambilkan dari kitab yang mungkin hanya dikaji oleh ulama dengan tingkat keilmuan tertentu, sehingga pelacakan sederhana seperti yang saya lakukan di sini belum cukup untuk menjangkaunya. Bisa jadi juga penafsiran tersebut masuk dalam genre isyārī yang hanya tersingkap (kasyf) untuk orang-orang dengan tingkat spiritualitas tertentu.
‘Alā kulli ḥāl, dua penjelasan ini sangat nyambung (relevan) dengan keadaan kita saat ini, di tengah pandemi. Ini akan lebih nyambung lagi jika kita ikuti dhawuh Ibn ‘Abbās tadi, bahwa yang ditolak adalah hal-hal buruk dan mara bahaya, tidak melulu azab dalam artian seperti pada umumnya.
Jadi, mari kita perbanyak istigfār dan lebih sering ‘menghadirkan Nabi’ di tengah-tengah kita. Kita perbanyak selawat, baik sendiri atau bersama. Kita sebut nama beliau kapan pun kita sempat. Yang lebih utama lagi, mari kita teladani beliau; kita hidupkan ajaran beliau, kita jadikan diri kita pewaris beliau dalam arti yang sebenar-benarnya. Subhanallah sekali bukan nasihat saya?!
Sebelum berakhir, mari kita lihat sejenak yang saya sebutkan di paragraf pertama. Ya. Tulisan ini berawal dari kebingungan saya ketika mendengarkan khutbah. Padahal saya mendengarkannya ya ada mengantuknya juga. Mungkin ini bisa diistilahkan ngantuk produktif. Asal ditelateni, insya Allah ngantuk pun bisa berakhir dengan tulisan. Yang penting, “dadi wong ki seng solutip.”