Qomaruddin.com – Dari bangun tidur di pagi hari sampai kembali tidur di malam hari ada banyak kegiatan yang kita lakukan. Mulai dari mencuci tangan, menyikat gigi, hingga cara duduk yang baik, semua tampak sederhana dan sering dilakukan secara otomatis. Tapi, tidak jarang, kegiatan yang selama ini kita sudah anggap benar pada kenyataannya sering kita lakukan dengan keliru.
Penyebab kekeliruan ini pun bisa berasal dari berbagai alasan, mulai dari kurangnya pengetahuan, terburu-buru, atau sekadar mengikuti kebiasaan umum. Perkara yang demikian tidaklah salah, namun beda cerita jika kekeliruan yang kita lakukan itu berdampak pada kesehatan atau praktik beragama.
Bagi seorang muslim tata cara dalam bersuci merupakan hal yang tidak boleh mereka anggap remeh apalagi bersikap tak acuh. Andai diibaratkan ke dalam istilah olah raga lari, jika start yang dilakukan salah maka akan membuat orang tersebut terdiskualifikasi. Begitu pula ibadah yang tata cara bersucinya salah dapat membuat ibadah tersebut menjadi tidak sah.
Persoalan inilah yang menjadi fokus bahasan dalam kegiatan mingguan Rasan-Rasan Kitab ke-11 (15/10/24). Masih mencoba menuntaskan bab bersuci. Selasa malam itu, mereka menguliti fasal Istinja’ dan adab melaksanakannya.
Bagi orang pesantren, Istinja’ bukanlah kata yang asing. Istinja’ atau cebok merupakan kegiatan membersihkan kotoran yang dilakukan setiap orang setelah buang air, besar atau kecil. Istinja’ dapat dilakukan baik dengan menggunakan air ataupun benda padat seperti tisu dan batu. Benda yang digunakan sendiri juga harus masuk dalam kriteria seperti memastikan benda tersebut suci, bukan barang najis dan bukan benda yang dihormati seperti makanan.
Meski dalam praktiknya, istinja, dapat dilakukan dengan air maupun benda lain seperti tisu, namun istinja menggunakan air tetaplah lebih diutamakan. Sifat air yang efektif dalam membersihkan kotoran membuatnya lebih dianjurkan dalam syariat. Apabila ingin menggunakan keduanya, air dan batu, diutamakan beristinja dengan batu terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan air.
Sedangkan jika menggunakan batu saja untuk istinja, maka minimal dilakukan sebanyak tiga kali baik itu menggunakan tiga batu atau hanya dengan satu batu tapi dengan sisi-sisi yang berbeda. Andai dikira setelah tiga kali belum bersih, bisa dilakukan lagi hingga dirasa sudah bersih.
Di samping itu, istinja’ menggunakan benda padat memiliki beberapa persyaratan, yaitu najis yang keluar belum kering, tidak berpindah dari tempat keluarnya dan tidak terkena najis lain yang tidak sejenis. Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka harus istinja’ menggunakan air.
Dari sinilah lantas timbul sebuah pertanyaan mengenai penggunaan tisu basah untuk istinja’. Menurut Gus Ulul, dalam referensi lain disebutkan kalau penggunaan batu basah untuk istinja’ tidak sah. Salah satu alasan kenapa tidak diperkenankannya hal ini pun dikarenakan karena dapat membuat najis yang akan dihilangkan menyebar karena air dari batu itu.
Menurut putra KH. Ishaq, kejadian semacam ini sering kali terjadi, terutama bagi orang-orang yang memiliki hobi mendaki gunung. Ia sering mendapati, ketika mendaki gunung, kejadian di mana orang-orang hanya melakukan istinja’ dengan menggunakan tisu basah saja. Pandangan masyarakat yang menganggap penggunaan tisu basah lebih efektif untuk menghilangkan najis dari pada tisu kering adalah alasan utama kebiasaan ini sering dilakukan. Dihadapkan pada masalah ini, Rembuk Kitab pada kala malam pun berfokus untuk menjawab fenomena yang sudah kadung dilakukan oleh banyak orang.
Elaborasi masalah dari Gus Ulul tampaknya diamini oleh khalayak yang hadir. Sehingga diskusi pun diawali dengan sepakatnya hukum mengenai tidak sahnya penggunaan tisu basah untuk istinja’. Akan tetapi hal ini dikira tidaklah cukup untuk menjawab persoalan yang sedang dikaji.
Biarpun penggunaan tisu basah untuk istinja’ tidaklah sah, tapi tidak dipungkiri bahwa mindset masyarakat tentang tisu kering kurang higienis untuk istinja’ merupakan cerminan dari meningkatnya kesadaran akan pentingnya kebersihan. Karena itulah lantas rembuk dilanjutkan dengan mengeksplorasi solusi untuk masalah ini.
Oleh sebab itu, masalah ini pun memperoleh sebuah solusi yang lebih praktis dan lebih diutamakan. Tanpa disadari solusi masalah ini sebenarnya sudah terjawab di awal pembahasan fasal lebih utamanya istinja’ menggunakan benda padat dan air. Di mana dalam kasus ini istinja’ dapat dilakukan menggunakan tisu biasa terlebih dahulu sampai tiga kali dan dilanjutkan dengan tisu basah untuk finishing.
Solusi ini juga mencerminkan fleksibilitas ajaran Islam yang memungkinkan adaptasi dengan situasi dan kebutuhan masyarakat modern tanpa mengabaikan nilai-nilai utama. Dengan demikian, solusi ini tidak hanya praktis, tetapi juga memberikan pemahaman bahwa syariat Islam sangat relevan dan mampu beriringan dengan perkembangan zaman.