Majelis Ya Kafi Edisi ke-8 Qomaruddin Gresik Menyorot Industri di Kabupaten Gresik dan Fikih Lingkungan

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Qomaruddin.com – Majelis Ya Kafi Ma’had Al-Jami’ah Universitas Qomaruddin Gresik kembali menggelar forum kajian dan dialog pada Rabu, 12 Februari 2025. Menariknya, pada edisi kali kedelapan ini, pertemuan yang banyak diikuti oleh kaum muda, terdiri dari santri, akademisi, dan cendekiawan di wilayah Kecamatan Bungah dan sekitarnya, mengusung tema yang lebih luas, yaitu “Sejarah Industri dan Kerusakan Lingkungan.”

Majelis Ya Kafi menjadi oase bagi keringnya gagasan dan ekspresi intelektual yang kerap ditunggu pelaksanaannya. Forum ini berlangsung di Fakultas Kopi, sebuah kantin yang terletak di lingkungan Universitas Qomaruddin Gresik. Sementara memberikan pengantar, pemuka Majelis Ya Kafi, Kiai Mudhoffar Usman, menyampaikan bahwa Majelis Ya Kafi dalam beberapa pertemuan sebelumnya memang mengangkat dan mendalami warisan keilmuan yang berkembang di Pondok Sampurnan.

Ia merinci tradisi peringatan maulid Nabi ala Sampurnan (Syaroful Anam), masyayikh dan perkembangan Ilmu Falak di Sampurnan, hingga mengupas budaya Musyawarah Kitab yang dahulu menjadi kegiatan terapan para santri Sampurnan. Namun kali ini, ungkap Kiai Mudhoffar Usman, berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama, pegiat Majelis Ya Kafi mencoba merespons industri dalam prespektif keilmuan kalangan pesantren, dalam hal ini adalah prespektif fikih.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi diskusi ini, juga disampaikan oleh Kiai Mudhoffar, yakni keberadaan air mutaghayar di daerah pemukiman kawasan industri. Seperti diketahui, air mutaghayar adalah air yang mengalami perubahan disebabkan tercampur dengan barang suci lain yang mengubah sifat-sifatnya, sehingga kemutlakan air tersebut hilang. Di kawasan industri, air sumur sangat dimungkinkan terkontaminasi oleh industri.

“Mengapa tema ini dimulai? Pertama, muncul pertanyaan dari para siswa kami, walaupun pertanyaan itu sederhana. Yaitu, pertama, kita ini sebagai seorang Muslim, wajib melakukan salat lima waktu. Kewajiban salat lima waktu itu mudah dilaksanakan, tetapi persoalannya adalah ketika kita mau salat lima waktu, kita harus bersuci dari hadas, yaitu melakukan wudu. Terutama wudu. Pertanyaan yang muncul (dari mereka, para siswa) adalah bagaimana kalau air wudunya itu terkontaminasi oleh limbah industri? Sehingga persoalan ini muncul,” urai Kiai Mudhoffar.

Lebih lanjut, Kiai Mudhoffar mengungkapkan bahwa pendalaman pun dilakukan setelah terjadi persoalan air sumur di kawasan industri Kabupaten Gresik yang terdampak industri hingga berubah sifatnya dan tidak dapat lagi disebut air mutlak.

Perbincangan kecil tentang air untuk bersuci ini mengarah pada kaidah fikih yang coba didalami dengan berpanduan pada kaidah-kaidah dalam ilmu fikih, antara lain: ad-dharar yuzal, al-umuru bi maqashidiha, al-yaqinu la yuzalu bi syak, al-masyaqqah tajlibut taysir, dan al-adatu muhakkamah.

Di akhir pengantarnya, Kiai Mudhoffar menekankan bahwa Majelis Ya Kafi dengan tema industri ini diharapkan dapat memberi masukan bagi keluarga besar Pondok Pesantren Qomaruddin untuk belajar lebih banyak tentang industrialisasi, atau dalam bahasa terkini disebut dengan Fikih Ekologi. Menurutnya, ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang, hingga ia merekomendasikan nantinya tasawur ini dapat menghadirkan para pakar Fikih maupun pakar ahli lingkungan baik dari skala regional maupun nasional.

Langkah itu diawali dengan pemaparan diskusi pada hari ini yang mengusung tema “Sejarah Industri di Kabupaten Gresik dan Krisis Lingkungan”, yang menghadirkan tiga narasumber antara lain H. M. As’ad, S.Hum., MA. (Sejarah Industrialisasi di Gresik), Muhammad Hafidz Yusuf, ST., MT. (Manajemen Industri, Infrastruktur Industri, dan Ekologi Industri), serta Agil Muhammad, MA (Fiqh Ekologi Sampurnan, pengantar).

H. M. As’ad menyampaikan bahwa industrialisasi dan transformasi menjadi Kota Industri bukanlah hal baru. “Di sini (Gresik) merupakan tempat berkumpulnya para saudagar-saudagar besar, yang ramai dikunjungi karena memiliki pelabuhan-pelabuhan yang sangat strategis sebagai tempat singgah. Begitu pula ketika era selanjutnya, banyak usaha-usaha perekonomian muncul dari yang kecil hingga yang besar,” ungkapnya.

Ia menyampaikan bahwa di Gresik pada tahun 1890-an industri berkembang pesat, bahkan pernah dikunjungi oleh salah satu pembesar dari Solo untuk meninjau usaha di tempat tersebut. Sebelum era industri modern, tempat-tempat pengumpulan kayu pun ada di Gresik.

“Namun, menurut sejarah, Gresik menuju arah industrialisasi dalam skala yang sangat besar, tidak hanya lokal, tetapi juga nasional, bahkan internasional. Itu dimulai ketika proyek-proyek pendirian pabrik semen pada tahun 1953 yang mulai dibangun dan beroperasi pada tahun 1957, meskipun rencana itu sudah ada sejak tahun 1935. Ketika Belanda datang ke Gresik, mereka melakukan penelitian-penelitian tentang kemungkinan bahan baku semen di Gresik. Hal ini juga dibukukan dalam sebuah catatan resmi Belanda tahun 1935, namun rencana ini tidak berjalan karena Perang Dunia II dan kedatangan Jepang ke Indonesia, yang membuat konsentrasi Belanda teralihkan,” jelasnya.

Lebih jauh, As’ad membentangkan perkembangan industri yang terus berkembang dari era pemerintahan Soekarno, Soeharto, hingga kebijakan pembangunan Nasional dan potensi geografis di Kabupaten Gresik, yang juga disebabkan oleh padatnya lahan industri di Surabaya. Selain keuntungan-keuntungan yang dihasilkan oleh industri, dampak negatifnya juga dirasakan oleh masyarakat baik dalam hal lingkungan maupun sosial kemasyarakatan.

Narasumber kedua, Muhammad Hafidz Yusuf, menyampaikan bahwa dalam konteks teknik industri, seorang pengusaha harus memulai dari angka 0 dan mencapai angka 1. “Namun, seorang industriawan atau pengusaha pasti akan mengikuti regulasi yang ada di daerah masing-masing, karena itu adalah aturan yang harus dipatuhi,” ujarnya.

Selanjutnya, ia memperkenalkan sejumlah undang-undang atau kebijakan yang mengatur industri, mulai dari Perindustrian, Penataan Ruang, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Izin Usaha Industri, Izin Lingkungan, hingga peraturan tentang penerbitan Izin Usaha dan Izin Perluasan. Dalam kesempatan ini, Hafidz juga berbagi wawasan tentang hasil riset Pengembangan Kawasan Industri di Kabupaten Gresik.

Pada gilirannya, Agil Muhammad yang mendapat kesempatan untuk menyajikan materi tentang fikih dan kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, menyampaikan poin penting bahwa para fuqoha yang ia cerap seperti Fiqih Sosial yang dicetuskan oleh KH Sahal Mahfudh, KH Ali Yafie, hingga Fikih Peradaban PBNU, yang dalam hal ini mencerap pemikiran KH Afifuddin Muhajir.

“Ketiga-tiganya mengapa fikih sosial, fikih peradaban itu tujuan utamanya adalah fikih menjadi solusi bagi problem masyarakat. Jangan sampai fikih menjadi masalah, jadi masalah,” ungkapnya. Ia juga menjelaskan bahwa para ulama-ulama dulu telah mengamalkan fikih sebagai pemaknaan sosial, bukan hanya berkutat pada halal, haram, wajib, sunah, dan makruh.

Agil juga menyampaikan bahwa karakteristik fikih menjadi sangat penting karena pada hakikatnya merupakan Saadatut Daroin, kebahagiaan di dunia dan akhirat. “Semua hal, perbuatan manusia, mengandung sisi masyaqqah dan maslahat yang relatif. Kita tinggal memilih yang maslahatnya lebih tinggi menurut ijtihad kita, sesuai dengan sebaik-baiknya,” sambungnya.

Ia juga meninggalkan rekomendasi bahwa Kabupaten Gresik, yang juga dikenal sebagai kota Santri, perlu memiliki ekosistem yang kuat untuk mencetak kader Fukoha. Kader fikih sejati yang intensif bermusyawarah, Bahtsul Masail, bahkan level mushohih. “Dalam mewujudkan ini, fikih ekologi di Sampurnan perlu dua sosok, yang pertama adalah ulama yang bisa berada di level mushohih, agar diterima di dunia akademik. Kemudian peran akademisi yang membantu dalam mengartikulasikan ucapan-ucapan dari ahli fikih, ulama tadi, agar disebarkan ke dunia akademisi. Ditulis dengan bahasa yang baik, karena kecenderungan ulama itu kurang jago menulis. Kecuali dua tokoh tadi, Mbah Sahal dan Kiai Ali Yafie, yang merupakan ulama sekaligus akademisi, itu luar biasa. Yang terakhir, kita perlu menyiapkan kader fikih yang menempuh tiga pendidikan: bandongan, sorogan, dan musyawarah,” urainya.

Kegiatan Majelis Ya Kafi kali kedelapan ini semakin dinamis karena juga memberikan ruang bagi beberapa tokoh untuk memberikan tanggapan dan beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan.

Artikel Terkait

Leave a Comment