Catatan Rembuk FQ #2; Problematika Air Sabun dan Air Sulingan

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Qomaruddin.com — Man of the match pertemuan mabar kitab Fathul Qorib pertemuan kedua (06/08/2024) kali ini adalah Wasil Amin. Sosok yang habis potong rambut itu mengeluarkan ulti pertanyaan-pertanyaan yang sakit. Damage-nya ga ngotak. Pemain semi Pro Player pun kewalahan menjawab pertanyaan Wasil Amin.

Digelar seperti biasa, Malam Rabu bakda jamaah Pondok Qomaruddin, majelis yang insyaallah barokah itu dibuka dengan ummul kitab, serta tawassul. Lalu Gus Ulin Nuha bin KH. M. Yakub, membaca lanjutan kemarin, mengenai bab kategori air.

Baru membaca dua kategori, war dimulai. Kategori pertama, air mutlak. Tak banyak pertanyaan mengenai karegori ini. Namun, menginjak kategori kedua, air musyammas, air suci mensucikan tapi makruh, imajinasi para peserta war kitab menyala.

Mulai dari persoalan krisis iklim, pergantian musim yang di luar prediksi BMKG, perubahan zat kadar air, hingga persoalan medis. Muncul juga pertanyaan, barometer kemakruhan. War semakin seru dengan adanya pertanyaan yang agak meluas. 

Pertanyaan dibalangkan Wasil Amin, sehubungan dengan ‘istinbath’ atau ‘ijtihad’ Mbah Sholeh Musthofa, bahwa parameter air itu mutaghoyyir apa tidak, ‘cemplungono iwak’. Pertanyaannya sederhana: iwak opo?

Beragam jawaban dilontarkan, salah satunya dari Agil Muhammad, yaitu dikembalikan ke Urf, merujuk pada Bajuri. Jika masyarakat sudah menyebut itu ‘banyu sabun’ maka mutaghoyyir. Ada lagi jawaban, bahwa sabun’ itu mengendap di bawah air, yang bawah mutaghoyyir, yang atas tidak. Ada lagi jawaban yaitu, ikan yang umum, seperti ikan tarung, ikan mas, dsb. Tapi semua dimentalkan.

Di saat itu, akhirnya mauquf. Karena memang butuh kajian dan pendapat ahli perikanan dan pertambakan. Lagi pula, jika di-bahtsul masail-kan, susah juga karena asal muasal ‘istinbath’ itu dari mulut ke mulut. Entah sudah pernah dipraktikkan atau belum.

Secara bahasa, mutaghoyyir artinya berubah, yang berarti air telah bercampur dengan zat lain hingga berubah sifatnya (bau, warna, rasa) hingga hilang ke-mutlak-an airnya. Namun, kasus ‘banyu sabun’ yang masyur di Pondok Pesantren ini masih menjadi polemik.

Perihal air Musyammas, memang sudah diakui adanya beragam pendapat para ulama. Ada yang mengatakan, kemakruhan itu bukan karena dalilnya, tapi karena membahayakan atau menimbulkan efek negatif. Jadi, kalau air dari tandon siang hari yang panas, tapi tubuh kita masih bisa menerima ‘panas’ air itu, maka itu tidak makruh, terkait juga status hukum wudlunya.

Mungkin di pertemuan ketiga, besok akan ada pembahasan khusus tentang pertanyaan-pertanyaan tadi. Seru kan? Yuk, gabung di Majelis Rasan-Rasan Kitab. Rutin tiap malam Rabu baksa jamaah isya para santri di Langgar Agung Sampurnan atau sekitar pukul 21.00. Mari bersama hidupkan Tradisi syawir di Sampurnan.

Artikel Terkait

Leave a Comment