Qomaruddin.com — Rampungnya jamaah Shalat Isya’ di Langgar Agung Sampurnan menjadi isyarat dimulainya kegiatan Rasan-rasan Kitab Fathul Qorib yang ketiga (13/08/2024). Tidak seperti pertemuan sebelumnya, sebuah bingkisan berisi gorengan dan air putih menyambut kedatangan para peserta. Sebuah sedekah dari keluarga Gus Roni akan peringatan lima hari wafatnya sang ayahanda, KH. Abdul Kholiq Sholih.
Keberadaan hadiah tak terduga tersebut pun meningkatkan semangat para pejuang yang bersenjatakan kitab karya Ibnu Qasim al-Ghazi. Meski begitu dengan absennya Ki Wasil, penggembira majelis, membuat beberapa orang sedikit kecewa.
Namun siapa yang menyangka bahwa hari itu merupakan isyarat betapa Tuhan sayang kepada majelis yang sarat akan keilmuan. Malam itu tidak ada yang menyangka kalau kegiatan yang penuh akan pemain amatir akan kedatangan orang-orang baru yang menambah gejolak Tholabul Ilmi setiap peserta.
Dimoderatori Ulin Nuha, pertempuran malam hari itu dimulai dengan sebuah tawassul yang diteruskan pembacaan kitab yang dilakukan oleh Mas Aqil (bukan Agil Genk). Masih melanjutkan bab lalu yang membahas pembagian air, kini mereka memasuki area air Musta’mal (air bekas bersuci) dan Mutaghayyir (air yang tercampur).
*Ma’ (Min) al-Wardi Atau Ma’ (Fi) al-Wardi?*
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sebuah pertanyaan yang menimbulkan sengketa dikeluarkan. Gus Kirom, seorang pemain veteran, memantik orang-orang dengan maksud dari kalimat Ma’ al-Wardi (air mawar) dari penjelasan kitab. Putra dari KH. Chusnan Ali itu memiliki pemahaman jika kalimat tersebut bukan air yang dimasuki mawar tapi air yang dihasilkan dari ekstrak mawar.
Pertanyaan tersebut lantas dijawab oleh pendatang baru yang asing bagi kebanyakan peserta. Dengan fasih ia meng-counter attack pernyataan Gus Kirom. Luasnya khazanah keilmuan yang dimilikinya, ia mengelaborasi air mutaghayyir dari berbagai sisi terutama mengenai Mukhalit (zat yang mencampuri). Dan mulai pada poin ini diskusi mulai memanas.
Takjub dengan apa yang didengarnya, moderator meminta si pria asing untuk memperkenalkan diri.
“Samsul” teriak peserta yang mengenal orang asing tersebut.
Setelah mengetahui namanya, Ulin menyampaikan kesimpulan sementara yang telah didapat dan memberikan panggilan ‘Gus Samsul’ kepada orang tersebut yang ke depannya ditiru oleh peserta yang lain.
Berbagai macam ide tercetus dari para peserta. Acungan demi acungan tangan terangkat layaknya sebuah tombak yang siap untuk digunakan berperang. Meskipun diskusi didominasi dengan jawaban yang kaya akan penjelasan ilmu alat dari Agil dan Gus Ulul. Hal itu tidak mengecilkan hati beberapa peserta awam untuk ikut meramaikan.
Alotnya perdebatan antara Gus Kirom dan Gus Samsul tak jua menemukan titik terang. Di satu sisi Gus Kirom kekeh pada pendapatnya kalau ma’ al-wardi adalah air ekstrak dari bunga mawar. Sedangkan Gus Samsul berpendapat jika baik itu air ekstrak atau air campuran mawar sama saja.
Namun dalam panasnya adu pemahaman, seorang Master muda Bahasa Arab nyelunung masuk mendinginkan suasana. Dengan menyampaikan “kerpekan” yang diperolehnya, M. Fajar Falah, menjelaskan bahwa kalimat ma’ul wardi dengan makna min lebih kuat dari pada makna fii. Melalui pendapat inilah pertanyaan pertama memasuki fase end game.
Meski masih harus menjalani beberapa perdebatan kecil, pada akhirnya pertanyaan pertama mencapai pada sebuah kesimpulan. Pertama ta’bir ‘min’ lebih kuat dari ‘fi’ karena contoh lain seperti air anggur. Kedua, selama air yang tercampur mawar tidak berubah warna, bau dan rasanya maka masih belum masuk kategori mutaghayyir.
Air Musta’mal dalam Masyarakat
Suasana sedikit tenang ketika sebuah kesimpulan telah diperoleh. Tetapi hal tersebut tidaklah berlangsung lama. Semilir kedamaian itu pun lenyap ketika Agil Genk bertanya, “Wong-wong tuo kan sering ngomong nek wudhu, banyu sing kene nyawuk iku nek iso ojok ketetesan banyu musta’mal. Nah nek ketetesan, banyu cawukan iki status.e opo? Musta’mal ta igak”.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Gus Ulul, dengan berapi-api, menjelaskan jika air musta’mal tidak bisa menjadikan air lain menjadi musta’mal. Sehingga pertanyaan yang lebih tepat yaitu apa air dalam cawukan bisa digunakan untuk bersuci atau tidak.
Pertanyaan yang digunakan oleh Agil bisa dibilang termasuk sebuah ‘salah kaprah’ yang terjadi di masyarakat. Karena, yang dinamakan sebagai air musta’mal sendiri adalah tetesan air yang jatuh dari basuhan wajib. Sehingga menjadikan air dalam cawukan termasuk kategori mutaghayyir.
Adapun penjelasan yang demikian mudah disetujui oleh para peserta, namun untuk menjawab maksud sebenarnya dari pertanyaan tersebut beda cerita.
Apakah air yang terkena tetesan air musta’mal bisa digunakan bersuci?
Eskalasi konflik masih belum menemukan titik jenuh. Ta’bir demi ta’bir dilontarkan. Puluhan batang rokok mulai dinyalakan untuk membantu menenangkan diri. Legitnya kopi pun belum cukup untuk memuaskan lidah para pemain pro untuk berargumen. Alhasil, panasnya suasana majelis bahkan mampu mengalahkan bara rokok mereka.
Seperti pada sesi sebelumnya, Gus Samsul melontarkan argumen yang cukup kuat. “Selama mukholit tidak banyak dan tidak mengubah sifat dari air, maka air itu masih bisa digunakan untuk bersuci” ujar guru Madrasah Diniyah itu. Konsistensinya dalam menghidupkan suasana membuatnya sebagai calon terkuat Man of The Match malam itu.
Tetapi sebuah suara ‘mengoposisi’ pendapat Gus Samsul dari pojok ruangan. Dengan sebuah kitab di pangkuannya, Mas Haris dari Pulau Mengare, menunjukkan kebolehan yang dimilikinya.
Dia tidak menganggap argumen Gus Samsul dapat digunakan untuk pertanyaan ini. Menurutnya dasar tersebut bisa digunakan untuk mukholit yang secara jelas bisa mengubah sifat air seperti air mawar, anggur dan minyak wangi. Tapi, pada kasus air musta’mal, perubahan tersebut musykil untuk terjadi karena sifatnya yang sama dengan air cawukan.
Imajinasi pun kini menjadi semakin liar. Pertanyaan seperti “Bagaimana jika satu ember air musta’mal bercampur dengan segelas air mutlaq? Atau keduanya sama-sama satu ember? Apakah hal tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci?”.
Suasana panas tapi penuh gairah yang dilahirkan oleh para peserta sedikit membuat kegiatan kurang kondusif. Larut dalam sirkulasi, sebuah kalimat ‘cinta’ keluar dari mulut Gus Atik. Memecah tawa para peserta.
Ulin yang memoderatori pun kesulitan merangkum argumen orang-orang. Namun dirinya masih tetap bisa menjaga musyawarah dengan mengeliminasi argumen liar yang keluar dari konteks. Melalui usaha yang tertatih-tatih dia dapat mengarahkan para pejuang Fathul Qorib untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Meski tampak berbeda, argumen Gus Samsul dan Mas Haris, memiliki persamaan untuk menjawab pertanyaan Agil. Air yang tertetes air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.
Jika menggunakan argumen Gus Samsul, bisa karena air tetesan masih tergolong yasir (sedikit). Sedangkan argumen Mas Haris bisa digunakan karena sifat air musta’mal tidak dapat terpengaruh oleh air cawukan itu sendiri.
Perasaan lega tampak jelas tergambar dari setiap orang yang hadir. Asyiknya adu argumen membuat mereka semua lupa kalau waktu sudah menunjukkan pukul 23:00. Meski banyak dari mereka yang masih haus akan pengetahuan, tapi Agil menyarankan untuk menyudahi kegiatan malam itu.
Kendati demikian, seorang santri dari Ponpes Al-Hadi memberanikan diri untuk urun bertanya. Melihat semangat yang terpancar dari sorot matanya. Majelis pun menambah injury time untuk edisi kali ini.
“Bagaimana hukumnya jika kita wudhu dengan cara selurup?” ujar laki-laki bertubuh gempal itu.
“Sah” jawab Gus Ulul “Wudhunya sah tapi airnya jadi musta’mal”. Dilanjutkan dengan beberapa penjelasan yang dikemas dengan canda untuk mengusir rasa kantuk.
Hal itu pun menjadi aktivitas pamungkas pada malam itu. Dengan ditutup dengan surah al-Fatihah, orang-orang merapikan barang-barangnya dengan wajah penuh lelah namun berseri. Tidak sedikit yang masih tinggal untuk embo ilmu dalam majelis kecil.
Tapi yang pasti setiap dari mereka menantikan kegiatan selanjutnya yang akan diadakan hari Selasa depan pada tanggal 20 Agustus 2024 dengan waktu yang sama 21:00 di serambi utara Langgar Sampurnan Pondok Pesantren Qomaruddin.{Zaim}