Catatan Rembuk FQ #6; Berlabuh di Dermaga Penyamakan Kulit Hewan

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Catatan Rembuk FQ #6; Berlabuh di Dermaga Penyamakan Kulit Hewan

Qomaruddin.com — Semilir angin malam menghanyutkan para pengelana hikmah untuk melabuhkan sampannya di dermaga Langgar Agung, layaknya sebuah perahu yang mengarungi samudra. Mereka berkumpul mempersiapkan diri untuk menjelajahi samudra ilmu dari sebuah peta bernama Fathul Qorib.

Selasa (03/09/2024), merupakan hari keberangkatan mereka yang juga kebetulan berbarengan dengan rapat Maulid Rasul yang diadakan di ndalem Pondok Pesantren Qomaruddin.

Sebagai juru mudi, Abdullah Zubaidi, menunjuk Atiq Mujtahid sebagai pembaca peta untuk mengarahkan tujuan mereka. Kali ini kapal Rembuk Fathul Qorib berkesempatan untuk menjelajahi teluk ‘hukum menyamak kulit hewan’. Jangkar mereka tambatkan dan bersiap untuk menyelami samudra ilmu.

Dengan khidmat para awak mendengarkan pemaparan Gus Atiq mengenai ketentuan penyamakan dalam Islam. Secara garis besar dia menjelaskan bahwa menghilangkan faktor pembusuk seperti daging, darah, dan lemak merupakan kunci utama untuk menjadikan kulit bangkai binatang menjadi suci.

Setelah memperoleh beberapa penjelasan perihal penyamakan dalam Islam, Agil menyumbangkan sebuah pertanyaan yang turut meramaikan pelayaran malam itu. Dia bertanya mengenai status menyentuh hewan yang diawetkan (Taksidermi) seperti patung garangan yang sering dijumpai di pasar malam.

Meski jawaban dari pertanyaan tersebut tampak seperti berada di perairan dangkal yang tidak sulit untuk ditemukan. Namun setelah dilakukan beberapa eksplorasi para awak kapal Rembuk Fathul Qorib, menyadari jikalau problem tersebut cukup dalam untuk mereka atasi. Satu hal yang membuat mereka kesulitan untuk memperoleh jawaban konkret adalah kurangnya wawasan dalam hal pembuatan taksidermi.

Untuk tambahan informasi, dalam pengawetan binatang dibedakan menjadi dua, yaitu binatang besar yang perlu mengeluarkan tengkorak dalam pembuatannya dan binatang kecil yang tidak perlu mengeluarkan tengkoraknya.

Berawal dari salah paham mengenai tengkorak garangan tidak perlu dikeluarkan selama proses pembuatan taksidermi tersebut, cukup untuk memecah awak kapal menjadi dua kubu, suci dan najis. Meski begitu kedua belah pihak sepakat jika dalam proses pembuatannya jeroan, tulang, darah, dan daging hewan tetap harus dikeluarkan.

Untuk mereka yang berada di kubu suci menganggap meski tengkorak tidak dikeluarkan, dengan bantuan senyawa kimia, semua faktor pembusuk seperti lemak, darah, dan daging akan hilang sehingga proses penyamakan tetap berhasil. Dan meskipun masih memiliki tengkorak, selama hanya menyentuh kulitnya tetap tidak membuat najis. Akan tetapi mereka sepakat jikalau hewan yang diawetkan digendong kemudian melakukan shalat, hal itu membatalkan shalatnya karena statusnya yang masih memiliki tengkorak.

Sedangkan kubu najis menganggap kondisi tengkorak yang masih menempel dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses penyamakan. Hal ini dikarenakan hilangnya faktor pembusuk tidak dapat dipastikan sehingga masih memungkinkan hewan untuk membusuk. Selain itu beberapa di antara mereka juga beranggapan karena hewan yang diawetkan masih memiliki bulu yang menempel pada kulit membuat statusnya menjadi najis.

Pendapat kedua dari kubu najis ini didasarkan atas kaidah “Tulang dan bulu bangkai itu najis, begitu juga bangkai itu sendiri najis. Bangkai ialah hewan yang mati dengan tanpa penyembelihan secara syar’i”.

Mungkin karena terlalu fokus akan masalah tengkorak yang tidak dikeluarkan. Membuat para Pengelana Hikmah melupakan poin penting dalam penyamakan hewan menurut kitab Fathul Qorib. Bulu. Kondisi hewan yang diawetkan selalu memiliki bulu menjadikannya tetap menjadi najis meskipun dengan cara mengeluarkan tengkoraknya.

Informasi ini pun mengarahkan para awak kapal untuk menuju pada sebuah konklusi atas ekspedisi mereka dalam menyelami samudra ilmu. Mereka sepakat bahwa selama hewan berstatus bangkai maka status menyentuhnya –meski sudah disamak– tetap najis selama masih ada bulunya.

Lain cerita jika hewan yang dijadikan taksidermi adalah hewan yang halal seperti kelinci yang disembelih menurut syariat Islam, maka status menyentuhnya suci.

Meski semilir angin malam yang menggerakkan kapal mereka kini membawa rasa kantuk dan letih. Namun hal itu terlampaui perasaan gembira dari harta yang mereka dapatkan di dasar teluk samudra Fathul Qorib.

Sebelum jangkar mereka naikkan, sebuah pertanyaan terakhir mengenai once menjadi tambahan permata untuk mereka dibawa pulang. Keingintahuan salah seorang awak mengenai status dari once/pipa rokok dari gading gajah apakah suci atau najis?

Jawaban dari pertanyaan ini cukuplah jelas seperti yang telah disampaikan di atas, adalah najis jika menurut kitab Fathul Qorib. Alasannya seperti dari bangkai dan berasal dari hewan yang haram untuk dimakan.

Jawaban ini kemudian dibumbui sedikit guyonan dari para awak, karena mereka tahu di antara mereka ada yang memakai once gading. “Wes gawe aku wae oncene sampeyan. Wes ngerti najiskan?” canda beberapa awak kepada Ki Wasil yang ketahuan membawa benda tersebut.

Dalam rentetan tawa yang disambut dengan tawa, seakan ingin menolong sejawatnya, Pak Wajid melebarkan pertanyaan perihal once pada level yang lebih tinggi. “Lah, tapi bagaimana kalau oncene dilapisi karo resin? Opo hukume tetep?”.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para awak kapal senior seperti Gus Atik dan Gus Ulul menqiyaskan pada hukum air mutanajis. Hal ini dikarenakan meski resin sendiri suci, namun karena berbentuk cair pada awalnya jika terkena benda najis maka statusnya kemudian menjadi mutanajis.

Jawaban tersebut pun tampaknya cukup bisa diterima oleh para awak lainnya. Betapa tidak mereka secara tidak sadar sudah cukup faham mengenai status air yang telah mereka kuak pada lima pertemuan sebelumnya. Memang tidaklah sia-sia atau rugi mereka selama ini menyuling ilmu dari majelis yang serat akan adu argumen dan gagasan.

Dengan wajah berseri jangkar kapal pun mereka angkat. Harta karun ilmu telah memenuhi kantong mereka. Sembari angin malam meniup layar kapal mereka pun kembali ke perahu-perahu kecil mereka. Meski rasa puas menjadi teman tidur tapi hati mereka tidak sabar untuk menanti pelayaran mereka minggu depan.

Artikel Terkait

Leave a Comment