Catatan Rembuk FQ #7; Menapak Fasal Wadah Emas-Perak dan Bersiwak

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Catatan Rembuk FQ #7; Menapak Fasal Wadah Emas-Perak dan Bersiwak

Qomaruddin.com — Pada Selasa (10/19/2024), Pasca Nobar Kualifikasi Piala Dunia 2026 Indonesia melawan Australia, para penjelajah aksara geser ke Langgar Agung Sampurnan untuk melanjutkan rihlah keilmuan santri membahas Fathul Qorib. Hasil imbang laga melawan Australia adalah satu hal baik, melanjutkan laga keilmuan juga hal baik lainnya.

Rembug Akur Fathul Qorib edisi ke-7 dibuka oleh Mas Bagus Nasrullah (Tanggulrejo), sekaligus memegang mandat sebagai moderator kali ini. Turut membantu menghangatkan suasana, Mas Fajar mengajukan diri untuk menjadi qori’ dengan membacakan fasal baru dari kitab Fathul Qorib.

Kali ini para Penjelajah Aksara cukup beruntung untuk mengupas dua fasal sekaligus dalam satu pertemuan. Hukum wadah dari emas dan perak serta hukum bersiwak menjadi fokus pembahasan kali ini.

Pertama-tama mereka mulai menjelajah seluk beluk dari wadah yang berasal dari emas dan perak. Jejak-jejak aksara yang ditinggalkan mushannif menuntun mereka pada sebuah pemahaman mendasar mengenai wadah dan perhiasan dari emas dan perak.

Berbeda dengan perhiasan yang masih diperbolehkan perempuan untuk menggunakannya, penggunaan wadah dari emas dan perak haram digunakan baik itu oleh laki-laki maupun perempuan. Pengarang kitab pun cukup berhati-hati hingga melarang menyimpan wadah dari emas dan perak supaya terhindar dari sifat sombong dan agar tidak terjerumus untuk menggunakannya.

“Terus bagaimana hukumnya, jika kita menemukan harta berupa piring atau mangkok yang terbuat dari emas? Rasanya kok eman kalau dibuang?” Tanya Abdullah Zubaidi yang kaget pada deskripsi kitab.

Pertanyaan tersebut cukup untuk membuat brainstroming bagi sebagian orang yang hadir, terutama qori’ yang bertugas pada malam itu. Bertapa tidak, sang kakak yang harusnya membantu meringankan bebannya malah memberi pertanyaan yang ‘tricky’.

Namun dengan bantuan dari Ust. Imam Bashori dan KH. M. Ala’uddin, yang kebetulan hadir, membantu para kawula yang kebingungan. Beliau-beliau berpendapat selama temuan – wadah dari emas dan perak – diserahkan pada museum maka hukumnya boleh. Hal ini didasarkan atas alasan dilarangnya menyimpan wadah dari emas karena ditakutkannya wadah tersebut akan digunakan seperti untuk makan atau menyimpan air.

Selain pertanyaan mengenai harta karun, seorang penjelajah juga menemukan pertanyaan mengenai pelapisan wadah dengan emas lembaran atau gold leaf. Berbeda dengan pertanyaan sebelumnya di mana wadah murni dari emas, namun pada kasus ini wadah yang terbuat dari keramik ataupun bahan lainnya hanya dilapisi pada permukaan luarnya.

Untuk menjawab pertanyaan ini, KH. M. Ala’uddin mengingatkan kembali mengenai keharaman dari menyepuh wadah dengan emas dan keharaman menambal wadah dengan emas dan perak. Hal ini beliau sampaikan karena proses dari pelapisan lembaran emas dan penyepuhan memiliki konsep yang sama.

Namun pada akhir pembahasan beliau mengingatkan jika penggunaan wadah dari emas dan perak diperbolehkan selama ada alasan dharurat.

Setelah cukup puas dengan menelusuri jejak aksara dari hukum penggunaan wadah dari emas dan perak, para penjelajah mulai mencari jejak-jejak yang lain. Dan beruntungnya mereka menemukan tapak aksara yang mengarah pada hukum bersiwak.

Ketika mengikuti rangkaian tapak ini mereka mendapati pemahaman lebih dalam mengenai bersiwak. Hal-hal mengenai hukum kesunnahan bersiwak; keadaan yang disunahkannya bersiwak; kondisi yang dimakruhkan untuk bersiwak dan tata cara bersiwak.

Namun dalam memahami fasal siwak ini, Gus Atiq menggaris bawahi sebuah kalimat yang cukup membingungkannya. Redaksi mushannif yang menjelaskan untuk mendapat pahala sunah diharuskan membaca niat sunah ketika hendak bersiwak, membuatnya bertanya-tanya, “Apakah menjadi wajib niat bersiwak, sementara redaksi kitab menghukumi niat siwak adalah suatu kesunnahan?”.

Meskipun sebagai pihak yang memberi pertanyaan, dirinya beranggapan jika melihat dari frasa yang ada di kitab maka jika tidak berniat menjadikan kegiatan bersiwak tidak mendapat pahala kesunahannya.

Di sisi lain, Agil berpendapat selama konsekuensi dari pahala siwak adalah sunnah, maka tidak salah jika mushannif menghukumi niat bersiwak adalah sunnah pula. Pendapat ini didasari karena akan munculnya paradoks ketika niat diwajibkan sementara konsekuensinya adalah pahala sunnah. Dengan catatan bahwa kasus ini hanya terjadi pada ibadah yang mirip dengan adat, bukan ibadah mahdloh.

Sebuah rekomendasi pun terlahir di tengah adu argumen yang sedang berlangsung. KH. M. Ala’udin mengapresiasi pendapat dari Agil. Tetapi jika demikian, beliau berpendapat, bukankah dengan pendapat tersebut menjadikan pengarang kitab sedikit ‘plin-plan’ perihal niat. Hal ini dikarenakan pada kegiatan lain seperti shalat dan wudhu krentek niat merupakan faktor sahnya dalam menjalankan ibadah.

Seakan memberi ruang untuk berkembangnya diskusi ke depannya, beliau tidak mengiyakan atau menolak usulan dari kedua kubu. Beliau malah menyarankan untuk melanjutkan pembahasan hal ini ketika khalayak Rembuk Fathul Qorib memasuki bab yang menjelaskan masalah niat.

Artikel Terkait

Leave a Comment