Childfree Dalam Kajian Fiqh

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Childfree Dalam Kajian Fiqh

Qomaruddin.com – Keputusan untuk tidak memiliki keturunan (Childfree) sedang menjadi trending topic lini masa generasi Z. Berbagai alasan diungkapkan, berbagai cara diterapkan. Ada yang mendukungnya dan ada pula yang menolaknya. Oleh karena itu mari kita pahami Childfree ini dari tiga poin utama: hukum punya anak menurut Syariat Islam, cara melakukan Childfree, dan motif serta alasan yang melatarbelakanginya.

Pertama, dalam teks-teks agama banyak kita temukan perintah untuk membuat anak, seperti dalam Surat Al Baqarah ayat 187:

{ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ }

“mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

Juga ayat 223:

{ نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ }

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”

Tetapi Islam tidak mewajibkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memiliki anak. Meskipun Allah menyatakan bahwa dzurriyah shalihah adalah anugrah terindah kepada hambanya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Kahfi ayat 46:

{ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا }

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Maka dari itu Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki banyak anak yang shalih. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Sayyidina Ma`qil bin Yasar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

« تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ »

“Kawinlah dengan perempuan yang besar kasihnya serta berpotensi melahirkan banyak anak. Sebab aku membanggakan jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” 

Kedua, cara melakukan childfree

Ada beberapa cara agar tidak bisa memiliki keturunan:

  1. Tidak melakukan pernikahan, baik secara lughatan maupun syar`an. Dalam artian tidak melangsungkan akad nikah sama sekali atau melaksanakannya tapi tanpa melakukan persetubuhan. Nikah mengandung hukum yang lima, mulai wajib hingga haram, menyesuaikan kondisi yang ada. Agar lebih detail silahkan membaca bab nikah.
  2. Melakukan `azl (coitus interuptus), mengeluarkan mani diluar vagina. Imam Nawawi memakruhkan hal ini:

وَهُوَ مَكْرُوهٌ عِنْدَنَا فِي كُلِّ حَالٍ وَكُلِّ امْرَأَةٍ سَوَاءٌ رَضِيَتْ أَمْ لَا لِأَنَّهُ طَرِيقٌ إِلَى قَطْعِ النَّسْلِ

`Azl hukumnya makruh dalam madzhab kami (Syafi`i) dalam kondisi apapun dan kepada perempuan siapapun, yang rela untuk di`azl atau tidak. Sebab itu adalah salah satu metode untuk memutus keturunan.

Sedangkan menurut Imam Ghazali hukumnya tarkul afdlal, meninggalkan keutamaan:

وَإِنَّمَا قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ،

 وَلَا نَصَّ وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ.

Saya berpendapat bahwa `azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrim atau makruh tanzih, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang dapat dijadikan dalil memakruhkan `azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzal atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan.

3. Memakai alat untuk menahan masuknya mani atau mengkonsumsi obat penunda kehamilan.

4. Melakukan perubahan pada fungsi alat reproduksi agar tidak bisa memiliki anak. Seperti mengangkat rahim atau melakukan tindakan sterilisasi baik untuk lelaki maupun perempuan. Hukum memakai obat dan sterilisasi ini sudah dijelaskan Imam Bajuri dalam Hasyiyahnya:

وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي

Begitu juga pemakaian suatu hal oleh perempuan yang bisa memperlambat kehamilan atau memutus kehamilan dari pusatnya (sterilisasi), maka dihukumi makruh untuk yang pertama, dan dihukumi haram untuk yang kedua.

Namun dalam kondisi khusus dimana sterilisasi merupakan solusi terakhir maka hal ini diperbolehkan berdasarkan konsep kedaruratan.

5. Menggugurkan kandungan. Hukum asal dari aborsi adalah haram. Meski ada beberapa Ulama` yang membolehkan dengan alasan tertentu, misalnya gangguan medis, atau dilakukan sebelum ditiupkannya ruh saat usia kandungan belum genap 120 hari. Untuk lebih jelasnya silakan merujuk ke hukum aborsi.

Ketiga, latar belakang atau motif dari childfree. Setiap orang pasti memiliki alasan maupun tujuan dalam melakukan tindakan ini. Motif-motif ini ada yang dibenarkan oleh syariat ada pula yang disalahkan. Diantara motif ini adalah:

  1. Kesehatan, takut jika kehamilan akan membunuhnya atau membuatnya jatuh sakit. Begitu juga jika ditemukan adanya kelainan genetika dari pasutri atau salah satunya yang menyebabkan anaknya akan terlahir cacat. Alasan ini kalau didukung oleh pendapat ahli maka bisa dibenarkan.
  2. Kecantikan, takut jika hamil akan merubah bentuk tubuhnya, terutama penurunan fungsi alat seksualnya yang dikhawatirkan berujung kepada keretakan rumah tangga. Hukumnya sama dengan yang pertama.
  3. Ekonomi, takut tidak bisa menafkahi anaknya dengan nafkah yang halal. Atau khawatir akan menambah beban kerja hingga ibadahnya berkurang. Hal ini masih bisa dibenarkan meskipun yang paling utama adalah tawakkal kepada Allah. Dan harus selalu diingat bahwa menafkahi keluarga adalah ibadah yang setara dengan jihad fi sabilillah.
  4. Takut melahirkan generasi yang lemah. Hal ini muncul karena meyakini manusia adalah pembawa dosa turunan. Atau kekhawatiran nanti melahirkan anak perempuan yang dianggapnya sebagai makhluk lemah tak berdaya. Keyakinan semacam ini hukumnya haram.
  5. Takut tidak bisa menjaga kesucian diri dan tempat tinggal. Sebab nanti akan menjalani masa nifas hingga takut ada percikan darah yang masih menempel di baju. Setelah itu merawat anak kecil yang belum mampu memahami bab najis. Hal ini ditimbulkan oleh rasa was-was dan ragu-ragu yang terlalu berlebihan, tentu hukumnya haram.

Dari paparan diatas bisa diambil kesimpulan:

  1. Memiliki anak itu adalah anugerah dari Allah, kita hanya diperintah untuk berusaha membuat anak.
  2. Keinginan tidak memiliki anak hukumnya tarkul afdlal menurut Imam Ghazali. Sedangkan berdasarkan pendapat Imam Nawawi dan Imam Bajuri hukumnya makruh, bahkan bisa haram. Tetapi childfree bisa dibenarkan Syari`at jika cara dan motifnya benar, serta didukung oleh pendapat ahli.
  3. Tidak mengkampanyekan atau mempengaruhi orang lain agar menirunya. Sebab propaganda ini membahayakan. Karena selain bertentangan dengan anjuran Rasulullah SAW juga bisa membuat manusia punah.

Demikian kajian Fiqh tentang Childfree, semoga kita semua dikaruniai dzurriyah yang kuat imannya, cerdas akalnya, sehat jasmaninya serta maju perekonomiannya. Amin Ya Rabbal `Alamin. 

Wallahu A`lam Bish Shawab.

Daftar Pustaka:

  1. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Dar Kitab Al Arabi, Beirut.
  2. Imam Bajuri, Hasyiyah Al Bajuri, Maktabah Dar Kutub Ilmiyyah, Beirut, 1971 M.
  3. Imam Ghazali, Ihya` Ulumuddin, Dar Al Fikr, Beirut, 1995 M.
  4. Imam Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Maktabah Dar Ihya` At Turats, 1329 H.

Tim Bahtsul Masail PP Qomaruddin

Artikel Terkait

Leave a Comment