Hukum Qodlo Shalat Saat Bekerja dan Terjebak Macet

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

HUKUM QODLO SHALAT SAAT BEKERJA DAN TERJEBAK MACET

Qomaruddin.com – Assalamualaikum, Kiai. Alhamdulillah, sekarang Saya bekerja di sebuah perusahaan di Gresik. Bisa dikatakan pekerjaan saya sangat padat dan tidak bisa ditinggalkan, hingga sering lupa shalat, kadang juga karena tak sempat. Dzuhur kadang sempat, karena ada waktu istirahat. Tapi saat asar, kadang tidak sempat; 1) Pakaian takut najis; 2) Terburu-buru ikut rombongan agar bisa pulang. Di saat pulang, juga ternyata seringkali macet. Hingga maghrib lewat saat masih di kemacetan. Pertanyaan saya, apakah boleh mengqadla shalat ashar, maghrib di waktu isya karena alasan pekerjaan yang darurat dan macet? dan itu berlangsung hampir setiap hari. Terima Kasih.

JAWAB

Wa’alaikum salam Wr. Wb, 

Ibadah shalat merupakan ibadah yang wajib bagi setiap mukallaf dan tidak dapat gugur dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan darurat seperti sakit yang tidak bisa menggerakkan tubuh, perang atau kondisi apapun, selama akal masih dianggap normal.   

وَلاَ تَسْقُطُ الْصَّلاَةُ حِيْنَئِذٍ عَنِ الْمُكَلَّفِ، مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا، لِقُدْرَتِهِ عَلَى أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ، مَعَ الْإِيْمَاءِ بِطَرْفِهِ أَوْ بِدُوْنِهِ، وَلِعُمُوْمِ أَدِلَّةِ وُجُوْبِ الْصَّلاَةِ   

Artinya: “Dan kewajiban shalat ini tidak bisa gugur dari seorang mukallaf selama akalnya masih berfungsi, sebab ia masih mampu untuk berniat dengan hatinya, disertai memberikan isyarat dengan anggota tubuh atau selainnya. Juga karena keumuman dalil wajibnya shalat.” (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, [Damaskus: Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir], juz II, halaman 830).   

Karenanya, tatkala dihadapkan pada kondisi apa pun dan di mana pun, kewajiban shalat tetap berlaku. Tak terkecuali saat sulit melaksanakannya seperti pada saat kerja, pulang atau berangkat kerja. Karena setiap orang yang masih memiliki kesadaran setidaknya pasti mampu untuk berniat shalat dan melaksanakan sholat dengan isyarat apabila tidak bisa melakukannya dengan syarat dan rukun sholat secara sempurna.  Mudahnya, Seorang mukallaf tidak diperkenankan menyengaja untuk mengerjakan sholat keluar dari waktunya (qodho’), kecuali karena udzur lupa atau tertidur. Bahkan seandainya seseorang tidak bisa melakukan sholat karena alasan tidak ada alat untuk bersuci, tidak bisa menghadap kearah kiblat atau syarat yang lainnya. Maka  masih diharuskan sholat di waktu tersebut secara lihurmatil waqti. Kemudian mengulanginya jika udzurnya telah hilang. 

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الإِعَادَةُ لأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ    

Artinya: “Ashab Syafi’i berkata, apabila waktu pelaksanaan shalat fardhu telah tiba sedangkan musafir dalam kondisi perjalanan, dan khawatir bila turun untuk shalat dengan menghadap kiblat tertinggal oleh rombongannya, khawatir terhadap keselamatan​​​​​ dirinya atau hartanya, maka dia tidak diperkenankan meninggalkan shalat dan mengeluarkan shalat dari waktunya. Bahkan, ia harus melaksanakan shalat di atas kendaraan li hurmatil waqti (dalam rangka menghormati waktu), dan wajib baginya untuk i’adah (mengulang kembali shalatnya) karena termasuk kategori uzur yang jarang terjadi.” (Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz III, halaman 242). 

Mengeluarkan shalat dari waktunya memang tidak boleh, tapi tidak termasuk dalam hal tersebut jika seseorang mengerjakan shalat dengan cara jamak.   Imam Ibnu al-Mundzir, seorang ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan boleh menjamak shalat  karena adanya hajat, dengan syarat hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan.    

)فرع) في مذاهبهم في الجمع في الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مرض: مذهبنا ومذهب ابي حنيفة ومالك واحمد والجمهور انه لا يجوز وحكى ابن المنذر عن طائفة جوازه بلا سبب قال وجوزه بن سيرين لحاجة أو ما لم يتخذه عادة

Artinya “Dalam madzhab ulama shalat jamak di rumah tanpa sebab takut (sampai membahayakan nyawa), berpergian, dan sakit menurut madzhab kita, abi hanifah, imam malik dan mayoritas ulama tidak diperbolehkan. Dan dihikayatkan Ibnu Mundzir dari sekelompok ulama memperbolehkan hal tersebut dengan tanpa sebab. Selain itu juga. Ibnu Sirrin memperbolehkan jamak dengan adanya kebutuhan selama tidak dijadikan adat (kebiasaan).” ((Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz IV, halaman 384)

Disebutkan juga dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari kitab Matan Taqrib sebagai berikut:

   بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من أصحاب مالك، وهو قول ابن سيرين، ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {جمع با لمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر} فقال سعيد بن جبير: لم يفعل ذلك؟ فقال:لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره   

Artinya, “Bahkan sejumlah ulama membolehkan jamak bagi mereka yang tidak dalam bepergian karena ada hajat dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Pendapat ini dipegang oleh Abu Ishaq al-Marwazi, dia mengutipnya dari  Imam Qaffal. Al-Khaththabi meriwayatkan dari sejumlah ulama hadits dan pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir, ulama dari kalangan mazhab kami. Asyhab dari kalangan ulama Maliki juga berpendapat demikian. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin yang diperkuat oleh ucapan Ibnu Abbas saat berkata, ‘Beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) tidak ingin memberatkan umatnya’. Ketika diriwayatkan hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya bukan dalam keadaan takut maupun hujan lebat. Maka saat Said bin Jubair bertanya, ‘Mengapa Rasulullah SAW melakukan hal itu (jama shalat)?’ Ibnu Abbas berkata, ‘Rasulullah SAW tidak ingin memberatkan umatnya.” Beliau tidak memberikan alasan sakit atau alasan lain.” (Taqiyuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khoir: 1994],  halaman 140-141).   

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa solusi terakhir yang dapat dikerjakan adalah melaksanakan shalat dengan cara jamak mengikuti pendapat Ibnu al-Mundzir, seorang ulama dari kalangan madzhab Syafi’i yang menjelaskan tentang kebolehan menjamak shalat karena adanya hajat dalam keadaan tidak bepergian, syaratnya adalah hal ini tidak dijadikan sebagai rutinitas atau kebiasaan. Jadi jangan menjamak sholat terus menerus. Usahakan ada jeda hari untuk melaksanakan sholat tepat waktu. Misalnya 2 hari jamak 1 hari tepat waktu.

Wallahu a’lam bish-showab.

Artikel Terkait

Leave a Comment