Catatan Rembuk FQ #4; Tatkala Air Larut dan Tak Melarut

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Qomaruddin.com — Problematika zaman kiwari yang meleburkan batas-batas keilmuan mulai mencemaskan. Di satu sisi, melampaui batas-batas itu menciptakan inovasi-inovasi. Di sisi lain, juga mengkhawatirkan terciptanya fragmentasi ilmu, di mana terlalu banyak cabang ilmu, terpecah tanpa ada integrasi kuat hingga sulit menemukan teori universal. 

Sama halnya dengan air, yang menjadi fokus pembahasan Rembuk Fathul Qorib #4 pada Selasa (20/08/2024), di mana air, seperti halnya ilmu, sudah melampaui batas-batas pencampurannya. Sampai di titik, adakah bentuk universal dari air? Atau berbedakah barometer kemutlakan air secara fikih dengan kemutlakan air secara sains?

Problematik konsep dan praksis keilmuan kiwari itu berelasi dengan problem fikih kontemporer. Fasal air, dalam Rembuk FQ masih berlanjut. Seperti halnya keilmuan kontemporer yang larut melarutkan, air juga punya momen larut melarut.

Fasal air mutaghoyyir berlanjut, fokus pada sebab mukholit (larut) dan mujawwir (tak larut). Sang Moderator Abdullah Zubaid membuka acara dengan penuh wibawa. Lalu Qori malam itu, Gus Malik ISD, membaca ‘segenggam kalam’ dari Fathul Qorib. Peserta ‘nyemak’ seksama. Kemudian Gus Malik ISD menjelaskan maksudnya. 

Selesai menjelaskan, Zubaid mulai membuka pertanyaan. “Ada pertanyaan?” Tutur Zubaid, yang menandakan ‘war kitab’ dimulai. 

Gus Ulul (bin KH. Ishaq bin Abdurrahman bin Abdul Hadi) memulai pertanyaan perihal air garam dan air laut; air yang dicampur garam itu thohir ghoiru muthohir atau thohir muthohir? Versi jawaban bercariasi. Juga tergantung konteks. Apakah itu disengaja atau tidak tahu itu air yang sengaja dicampur garam atau air laut, dsb.

Namun sederhananya, kalau diicampur secara manual atau sengaja maka itu tergolong mukhollit sehingga ghoiru muthohhir. Lempar melempar pertanyaan terjadi. Lalu mengkrucut pada pertanyaan dari KH. M. Ala’uddin: garam, kenapa dicampur dengan air, itu biasanya adanya di masyarakat Jawa. Hal itu bisanya dilakukan untuk semacam ‘ritual’ kalau capek, mandi pakai air garam, atau juga air suwuk. Pertanyaannya: apakah setelah mandi dengan itu, disuruh bersuci lagi atau tidak?

Kehadiran Kepala Madrasah Diniyah Pondok Qomaruddin, Imam Bashori juga Ketua Pondok Pesantren Qomaruddin, Abdul Wajid Al-Fahmi, menambah semangat mengaji para komplotan ‘Rasan-Rasan Kitab’. Forum menjadi banjir dengan ‘ta’bir’ atau referensi, ibarot, logika, dll. 

Jawaban kemudian mengkrucut pada dua kubu, kubu Agil kukuh dengan jawab harus wudlu lagi karena ‘air suwuk garam’ itu masuk dalam thohir ghoiru muthohir. Tetapi, kubu Gus Malik, berpendapat bahwa tidak wajib wudlu lagi, thohir muthohir. 

Problematika larut tak larut air semakin menjadi-jadi dengan kehadiran tercampurnya air bengawan (yang mengalir) yang tercampur dengan limbah. Namun, perlu ditekankan bahwa berdasarkan sebabnya, air mutaghoyyir dibedakan menjadi 4; 1) mujawwir (tak larut, bisa dipisah); 2) mukholit (larut, tidak bisa dipisah) 3) mutaghoyyir bi thulil muktsi (terlalu lama diam). 4) mukholit bi ma la yastaghni al-ma’anhu (larut, tidak bisa dipisah, namun air tidak bisa lepas darinya). 

Dari keempat jenis air mutaghoyyir tadi, semuanya statusnya thohir muthohhir kecuali yang kategori kedua. Dan, dua pertanyaan utama di forum ini, yakni air garam dan air limbah, mengarah pada kategori kedua ini, hingga disimpulkan bahwa kedua air tersebut tidak bisa digunakan untuk menyucikan diri dari hadats dan najis.

Artikel Terkait

Leave a Comment