Catatan Rembuk FQ #5: Perihal Soto Sak Baskom, Air Sulingan dan Misteri Kura-Kura

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Qomaruddin.com — Gerombolan kaum muda tetap istikamah menimba ilmu dalam rutinan Rembuk Fathul Qorib setiap malam Rabu (27/08/2024). Pada pertemuan kelima ini, suasana terasa lebih ta’dhim. Semangat meneruskan keilmuan fikih di Sampurnan harus terus dinyalakan. Pertemuan itu diawali dengan kirim doa pada para masyaikh Sampurnan, khususnya juga Sang Maestro Alfiyah Sampurnan, KH. Abdus Salam Na’ti, yang wafat pada hari itu.

Maghfur Munif, moderator, mempersilahkan Fajrul Falah sebagai Qori’ untuk menjelaskan pembagian jenis air yang terakhir, Air Mutanajis (Air mutlak yang kemasukan najis). Dengan fasih dan lancar, pemuda asal Lamongan itu membaca matan Fathul Qorib dan menjelaskannya sebelum ‘rasan-rasan kitab’ memasuki fase war.

Jika biasanya ‘rasan-rasan kitab’ berada di pengaturan hard mode, maka forum kali ini berada di normal mode. Tidak seperti biasanya di mana sebuah pertanyaan akan terus dielaborasi hingga memunculkan dua kubu. Kali ini hanya ada pertanyaan-pertanyaan awam yang relatif mudah untuk dijawab. Meski begitu ada beberapa pertanyaan yang mampu mengakibatkan migrain bagi mereka yang menjadikan kitab fiqih sebagai santapan sehari-hari.

Pertanyaan seperti ‘Bagaimana status air akuarium yang di dalamnya ada kotoran kura-kura?’ cukup membuat Agil ‘cekelan endas’. Hal ini akan mudah dijawab jika yang ditanyakan adalah ikan bukannya kura-kura.

Yang menjadi perbedaan dari kedua binatang itu sendiri adalah status ikan yang halal dimakan karena berhabitat di air. Sehingga kotorannya pun tidak terhitung najis. Di lain sisi, meski hidup di air, status kehalalan kura-kura masih menjadi pertanyaan sehingga status kotorannya pun turut dipertanyakan.

Awalnya, Agil menjelaskan selama karakteristik warna, bau dan rasa air tidak berubah maka air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci. Kesimpulan tersebut didapat melalui ta’bir pengecualian air sedikit (Qolil), yaitu 1) air tersebut terkena najis yang dimaafkan; 2) Air sedikit tersebut seperti terjatuhi bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya; 3) Bangkai tersebut tidak disengaja dimasukkan ke dalam air itu dan tidak menyebabkan berubahnya air.

Namun KH. M. Ala’uddin mengusulkan untuk mengulas kembali status kura-kura untuk menjawab pertanyaan tersebut. Alhasil kerumunan pun sepakat untuk menunda jawaban pada bab halal haram binatang.

Terlepas dari pertanyaan itu, Agil tiba-tiba mengusung sebuah pertanyaan konyol namun realistis. ‘Andai ada kotoran cecak yang masuk ke dalam dandang soto otomatis menjadikannya mutanajis. Terus apa ada solusinya? Atau soto tersebut harus dibuang?’.

Nyelenehnya pertanyaan dari Agil tatkala memecah tawa Gus Din dan khalayak. Pertanyaan ‘konyol’ pun melahirkan jawaban ‘konyol’. Celetukan seperti menambah kuah soto sampai menjadi dua Qullah atau berpura-pura tidak tahu menjadi solusi guyon para amatir yang menghadiri forum.

Mengesampingkan candaan dari kaula muda, Gus Din pun menganggap jika pertanyaan ini cukup krusial. Terutama hal yang demikian tidaklah mustahil untuk terjadi di masyarakat. Beliau juga menambahi kalau persoalan ini tidak semata berada di koridor fiqih, tapi juga ekonomi dan medis.

Usulan untuk menjawab persoalan dari sisi medis dan lintas madzhab juga tidak dapat terealisasikan karena absennya beberapa kawan pegiat. Hal ini pun menambah daftar singkat tempo pertanyaan yang menanti jawaban.

Syahdunya malam mengikis waktu bermesraan khalayak majelis. Namun sebuah pertanyaan mangkrak dari Gus Ulul mengenai ‘status air dari sulingan kencing sapi’ menjadi pertanyaan pamungkas malam itu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu digarisbawahi terlebih dahulu mengenai status dari air kencing sapi. Berbeda dengan air selokan yang masih dikategorikan sebagai air mutanajis, kencing sapi termasuk ke dalam kategori air najis.

Pemahaman mengenai hal ini penting mengingat air mutanajis awalnya merupakan air mutlak yang kemasukan najis sehingga masih dapat dipisahkan ‘senyawa’ najisnya. Sedangkan karena status awalnya, kencing sapi, sebagai ‘senyawa’ najis mengakibatkan air sulingannya tetap pada status najis.

Namun karena pungkasnya waktu acara, jawaban tersebut menjadi jawaban sementara. Adapun pertemuan selanjutnya yang akan membahas mengenai pembagian najis, memberi kesempatan pertanyaan soal ‘status air kencing sapi’ untuk muncul kembali agar dapat dieksplorasi.

Beberapa musyawirin beranggapan pertanyaan dari Gus Ulul ini masih memiliki potensi untuk memperoleh sudut pandang lain. Terutama dengan berkembangnya teknologi yang ada sekarang memungkinkan filterisasi air urine untuk menjadi air konsumsi. (Zaim)

Artikel Terkait

Leave a Comment