Qomaruddin.com – Pada Senin (1/7/2024), Majelis Ya Kafi #6 rundingkan problematika laku fikih kontemporer Gresik, dengan dihadiri puluhan orang terdiri dari para ulama, dosen, guru diniyah, dan mahasiswa asal Kecamatan Bungah hingga Manyar.
Dengan tajuk “Laku Fikih Kontemporer”, acara rutin yang diinisiasi oleh Pemangku Pondok Qomaruddin KH. M. Ala’uddin itu mencoba untuk mengurai beragam problematika umat, khususnya di Gresik. Pada edisi-edisi sebelumnya, Majelis Ya Kafi seringkali digelar pada malam hari di Fakultas Kopi. Namun, suasana berbeda pada edisi kali ini yang berlangsung pukul 09.00 WIB di Ruang Baca Universitas Qomaruddin.
Hadir dalam forum itu di antaranya KH. M. Ala’uddin, Ketua YPP Qomaruddin Kiai Abdul Qodir, Mudir Ma’had Al-Jamiah Universitas Qomaruddin Alimin Al Ayyubi, Rais Syuriyah MWCNU Manyar Kiai Suhail Idris, Pegiat Bahtsul Masail MWCNU Bungah seperti Ust. Imam Bashori, Gus Syamsul, serta beberapa mahasiswa dan santri Qomaruddin.
Edisi Majelis Ya Kafi kali ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu KH. M. Nawawi selaku salah satu sesepuh Pondok Qomaruddin dan KH. M. Chusnan Ali selaku pakar dan pelaku fikih kontemporer. Acara diawali dengan penyampaian pidato kunci oleh Mudir Ma’had Al Jamiyyah UQ Kiai Alimin Al Ayyubi.
“Majelis Ya Kafi ini merupakan salah satu sayap Ma’had Jamiah yang juga menjadi sayapnya Pusat Studi Pesantren yang digawangi oleh Kiai Mudhofar,” ungkapnya mengawali.
Lebih lanjut, Kiai Alimin mengatakan bahwa tema yang diangkat sebenarnya adalah hasil dari tarikan-tarikan wacana yang mengglobal.
“Seperti adanya fikih peradaban yang tahap keduanya dikontekskan pada PBB. Jadi ada konteks global yang dikaitkan dengan pengesahan piagam PBB. Yang pertama fikih peradaban dalam konteks nation-state diikuti oleh wacana yang bermacam-macam. Ini yang menjadikan ada kata-kata kontemporer,” sambungnya.
Kiai Alimin juga menegaskan bahwa tradisi Majelis Ya Kafi selalu menyandarkan filosofi membangun masa depan yang berbasis identitas yang berkembang di Qomaruddin, yang terhubung dan terikat dengan masa lalu Qomaruddin.
“Tapi melihat masa lalu cara berpikir Kiai Qomaruddin akan bermanfaat besar ketika bagaimana ke depannya diletakkan dengan konteks masa depan. Ada relevansi apa cara berfikih? Mungkin terutama metodologinya yang berkaitan dengan problem-problem masa depan,” imbuhnya.
Di penghujung paparannya, Alimin mengutip pendapat Kiai Sahal Mahfudz mengenai fikih kontemporer yang harus melalui “Al Hukmu ala al-syai’ far’un an tashawwurihi”.
“Jadi bagaimana membangun fikih kontemporer itu sama sekali tidak bisa dipisahkan dari bagaimana kemampuan kita bertashawwur terhadap fenomena yang terjadi sekarang ini. Yang jelas Qomaruddin ini besar, dan sudah diperhitungkan; harus mampu berbicara hal-hal seperti itu,” tandasnya.
Selanjutnya, moderator diskusi Kiai Mudhofar Usman mengantar diskusi dengan memotret sejarah Mbah Qomaruddin yang berpindah dari Kanugrahan Kecamatan Maduran Lamongan ke Gresik dalam rangka membangun sinergi dengan umaro’ dalam hal ini mengiringi Bupati Kanoman Gresik yang bernama Tirtorejo.
“Sehingga dakwah islamiyah, fikih siyasah sudah dilakoni oleh Mbah Qomaruddin, bukan hanya menjadi wacana diskusi,” ungkapnya.
Lebih mendalami potret sejarah yang disampaikan Kiai Mudhofar, KH. M. Nawawi sebagai narasumber pertama mendedah keunikan hukum-hukum fikih Pondok Sampurnan, mulai dari sempatnya terlontar wacana penggantian namanya menjadi Darul Fikih.
“Saya mendapatkan informasi apa betul itu sanadnya dari orang Qomaruddin atau tidak, saya dapat cerita dari Nyai Halimah itu begini; Wong Sumberejo, wong liyan-liyane iku anu nek durung mondok nang Sampurnan iku durung sempurno. Itu bahasanya. Lalu saya tanya, nopo’o mbah? Pertama Ngaji Qur’ane. Yang kedua ngaji fikihe. Itu yang saya terima hanya itu saja,” ungkap Kiai Nawawi.
Dalam kesempatan lain, Kiai Nawawi berkisah dengan teman-temannya yang selama seminggu punya tradisi berkeliling mulai Bungah, Betoyo, Sumberejo, sampai Sugiyo Lamongan.
“Nah di dalam perjalanan itu ketemu orang tuanya teman-teman yang kita kunjungi. Salah satu alasannya kenapa anaknya dipondokkan di Sampurnan, itu karena di Sampurnan bisa memberikan bimbingan syariat Islam. Syariat Islam yang dimaksud ya fikih itu, karena laku kegiatan ibadah, muamalah dan lain-lain itu yang dimaksudkan,” paparnya.
Sehingga, lanjut Kiai Nawawi, mungkin saja wacana penamaan Pondok Sampurnan dengan Darul Fikih pada tahun 70-an itu dilatarbelakangi kesan masyarakat. Waktu itu yang menggawangi adalah Kiai Hamim Sholeh.
“Tapi menurut teman-teman yang lain, itu usulan dari teman-teman di Pondok, karena setiap kali ada halal bihalal itu nama pondok yang ditampilkan pondok luar kok ada namanya, akhirnya diusulkan diberi nama dengan nama Darul Fikih.” jelasnya.
Kiai Nawawi juga menjabarkan secara gamblang informasi yang ia terima seputar ciri fikih yang melekat bagi orang Sampurnan dan alumni Pondok Sampurnan. Seperi cara membaca Fatihah dalam salat, I’adatud Dhuhri setelah menyelenggarakan salat Jumat, jamak takdim di rumah sebelum berangkat, syarat kafa’ah, hukum memakan kepiting, metode dalam rukyat untuk menentukan Ramadan dan hari raya, juga pembagian waris secara kekeluargaan.
Narasumber kedua KH. M. Chusnan Ali melihat yang bahwa yang terpenting dari fikih kontemporer ialah adanya panduan-panduan hukum yang legal bagi masyarakat dalam beraktivitas.
Mantan ketua MUI Kabupaten Gresik sekaligus inisiator Koperasi MUI di Gresik ini juga membagi pengalamannya di bidang ekonomi syariah. Kiai Chusnan menjelaskan perihal akad, riba dan berbagai persoalan yang masih sumir.
Selain membincang ekonomi syariah, Kiai Chusnan juga mengutip fenomena haji 2024 yang baru-baru ini terjadi, tentang wukuf, tawaf, yang rupanya telah ia alami sendiri pada tahun 1984. Menurutnya, keputusan hari ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh ulama ahli fikih terdahulu.
Majelis Ya Kafi semakin interaktif ketika para audiens juga memberikan tanggapan dan menambahkan pandangan-pandangannya.
Mewakili kalangan muda yang hadir di Majelis Ya Kafi tersebut, Ahmad Maghfur berharap bahwa forum ilmiah dan penuh inspirasi ini akan ada tindak lanjutnya.
“Jadi, harapannya, seluruh hasil curah pendapat yang melimpah dari forum dan para kiai, utamanya yang berkenaan dengan khazanah keilmuan fikih umat, khususnya di Sampurnan, akan digodok dan kita jadikan rekomendasi-rekomendasi. Rekomendasi dan hasil diskusi itu kemudian akan dipertimbangkan oleh para Kiai Pondok Qomaruddin; mana yang perlu mendapat perhatian untuk dibawa di kegiatan selanjutnya,” ujarnya.
Maghfur optimis Majelis Ya Kafi menjadi sebuah legasi ekosistem keilmuan yang luhur. Pasalnya, forum ini mempertemukan para kiai dan santri Qomaruddin baik itu kalangan mahasiswa maupun guru diniyah dan masyarakat umum dengan posisi yang setara, dapat berinteraksi secara langsung dan mengonfirmasi informasi-informasi yang perlu mendapatkan validasi.