Qomaruddin.com — Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka siapapun akan berkata semaunya. Demikian prolog dari Gus Ulin Nuha bin Yakub bin Muhammad bin KH. Yakub saat membuka sharing session Majelis Ya Kafi #7 pada Senin malam (20/08/2024) di Fakultas Kopi.
Dilatarbelakangi keinginan dari berbagai pihak untuk menemukan sanad keilmuan Alquran, Majelis Ya Kafi #7 menghadirkan dua narasumber yang namanya tak asing lagi di Sampurnan, yaitu Moh. Najib (cucu dari KH. Muhammad bin KH. Yakub) dan M. Iqbal Abadi (cucu KH. Zubair Abdul Karim, putra Bu Nyai Afiyah Zubair). Najib merupakan imam rowatib isya di Masjid Kiai Gede Bungah dan pernah nyantri di beberapa ‘maestro’ Alquran Sampurnan, lalu Gus Iqbal juga merupakan imam tarawih Masjid Kiai Gede Bungah, juga ketua Madrasah Tahfidz Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin.
Gus Iqbal mengawali pemaparannya dengan menjelaskan bahwa dalam metode pengajaran Alquran, metode talaqqi (face to face) adalah metode yang terbaik. “Jadi dengan bertemu langsung, bermusyafahah, bagaimana seorang guru mempraktekkan dan ditirukan langsung oleh muridnya. Ketika murid salah, langsung ditegur. Istilahnya ‘adu lambe’,” jelasnya.
Metode pengajaran Alquran, menurut Gus Iqbal, adalah nomer dua, yang paling penting adalah ketelatenan dari gurunya. Metode hanya diperlukan untuk mengukur kualitas. Beragam metode pengajaran kemudian dijelaskan oleh Gus Iqbal dengan gamblang, mulai dari yang pertama yaitu Qiro’ati.
“Dari Qiro’ati (yang ditashih Mbah Arwani -red), berkembang metode lain. Ada metode Iqra’, KH. Asad. Lalu, berkembang juga metode Ummi,” imbuhnya.
Di Madrasah Tahfidz Qomaruddin, Gus Iqbal menjelaskan bahwa metode yang digunakan adalah campuran, atau klasikal. Maksudnya adalah metode khas pesantren, yaitu sorogan, dimana santri menyetorkan hafalan langsung ke guru. Sistem pendidikannya, 2 hari setor hafalan, 4 hari murajaah.
“Apapun metodenya, tetap di Madrasah Tahfidz mengedepankan tartil,” ungkap Gus Iqbal.
Sementara itu, Moh. Najib menjelaskan bahwa dulu di Sampurnan, metode pengajarannya juga adalah talaqqi. Sementara untuk kitab atau bahan ajar yang digunakan adalah kitab Hidayatus Shibyan dan Jazariyah (berbentuk nadhom).
Moh Najib juga menceritakan bahwa ia sempat ‘menangi’ belajar Alquran di tiga ‘maestro’ Alquran, yaitu; Mbah Sholeh Musthofa (Tsalis), Mbah KH. Muhammad bin KH. Yakub, dan KH. Zubair Abdul Karim.
Masyhur dikatakan bahwa ‘ngaji’ Alquran di Sampurnan adalah ‘next level’ karena saking sulitnya. Masykuri Hasan, yang juga sempat ‘menangi’ ngaji di para maestro itu juga menceritakan bagaimana sulitnya ngaji di Mbah Mad. Juga Kiai Mudlofar Usman (Manyar) menceritakan bahwa saking ‘next level’ nya pengajaran Alquran di Sampurnan, sampai-sampai dijadikan semacam ‘punishment’ bagi anak yang tidak mau ngaji.
“Kalau tidak mau ngaji, tak ngajekno nok Sampurnan lho yo?” Tutur sosok yang juga merupakan Kapus Studi Pesantren dan Masyarakat Mahad Al-Jamiah.
Sehubungah dengan hal itu, Moh Najib menjelaskan memang Mbah Mad kalau mengajar sangat hati-hati, makanya sulit lulusnya. “Kalau dulu kualifikasi yang digunakan Mbah Mad (KH. Muhammad bin KH. Yakub) juga tartil. Pertama harus fasih. Tartil. Makhorijul Hurufnya benar, tajwid dan sebagainya,” ungkapnya.
Sehubungan dengan sanad, Moh Najib menuturkan bahwa diceritakan dari H. Ainun Niam dari ayahnya KH. Yakub (Yakub enom) bin KH. Muhammad, bahwa sanad Alquran KH. Muhammad bin KH. Yakub (tuo) berasal dari Arab (Mekkah). Selain itu, ia juga menceritakan sempat melihat sanad Alquran dari Man Yusuf yang dipigura, sayangnya pigura itu hilang.
Perlu diakui, bahwa terkait sanad memang ada dua jenis sanad: tertulis dan non tertulis. Kebanyakan tidak tertulis karena memang jarang sekali guru yang menjelaskan sanadnya, juga tidak ada kepikiran niat sama sekali menanyakan sanadnya. Jadi, seorang anak belajar di guru A. Guru itu sudah dianggap guru, yang berarti ilmu anak itu dari guru A. Lalu guru A itu belajar ke satu tempat, lalu ke tempat lain, jarang murid tahu.
Namun, Kiai Mudlofar Usman menjelaskan bahwa dalam catatan Sang Penulis Sampurnan, Mbah Abdurrahman bin Abdus Salam, dijelaskan secara kronologis, bahwa:
- Sebermula, pengajaran Alquran diawali dari KH. Musthofa (mertua dari Mbah Sholeh Tsani) yang dari Sidayu.
- Lalu berlanjut ke KH. Yakub (tua), yang juga merupakan istrinya keponakan dari KH. Musthofa.
- Mbah Abdurrahman. Ada cerita tentang keengganan Mbah Abdurrahman mengaji saat dimandati KH. Yakub, tapi kemudian semacam ‘Allahumma Pekso’ dan akhirnya belajar ke Mbah Zakariya (Saudara dari KH. Yakub). Mbah Zakariya mendapat sanad Alquran dari Mekkah.
- Era KH. Muhammad dan KH. Zubair Abdul Karim.
- Mbah Zaenal Abidin. Ada disebutkan bahwa penghafal Alquran pertama di Sampurnan adalah Mbah Zaenal.
Jika dihubungkan, banyak juga santri Sampurnan yang mengaji ke Sidayu (Mbah Munawwar), dan Mbah Munawwar sendiri merupakan keturunan dari KH. Musthofa. Sehingga, jaringan keilmuan Alquran di Sampurnan punya hubungan yang kuat dengan Sidayu.
Selain itu, dijelaskan juga bagaimana hubungan jaringan keilmuan Alquran Sampurnan dengan Mbah Arwani Kudus. Termasuk kini ada beberapa santri Sampurnan yang mendapat ijazah dari Kudus, seperti Bu Nyai Maryam. Selain itu, kini juga ada yang mendapat sanad dari KH. Najib Abdul Qodir Munawwir (Krapyak) yaitu Gus Ulin Nuha.
Perbincangan sanad Alquran memang seperti menyelami samudra, dalam dan kadang gelap. Kini mulai nampak cahaya terang dari rembulan atas sana. Tapi memang butuh keberanian untuk menyelam dan mencari ‘harta karun’ tersebut. Utamanya, agar membaca Alquran kita itu ‘otentik’ karena berhubungan dengan rukun qouli sholat.