Sakralitas Bubur Khidiran Khas Haul KH. M. Sholih Tsani

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Sakralitas Bubur Khidiran Khas Haul KH. M. Sholih Tsani

Qomaruddin.com — Di Haul KH. M. Sholih Tsani ke-126, tradisi Khidiran digelar secara internal pada hari Selasa, 19 November 2024, bakda Isya. Dengan dihadiri para masyayikh, sesepuh, keluarga dan warga Sampurnan Bungah. Tradisi sakral itu menjadi gong pembuka rangkaian haul.

Salah satu sesepuh Pondok Pesantren Qomaruddin, Hj. Barotut Taqiyah mengatakan tradisi Khidiran sudah dilakukan sejak zaman awal diselenggarakannya haul KH. M. Sholih Tsani, ketika zaman KH. Ismail memangku. Dalam pelaksanaanya, Khidiran mengalami beberapa kali perubahan waktu: di masa awal, Khidiran dilakukan pada hari Selasa tengah malam; pernah juga dilakukan pada Selasa bakda maghrib; dan di beberapa tahun terakhir ini dilakukan pada bakda Isya.

Barotut Taqiyah menjelaskan yang paling penting dalam Khidiran adalah keharusannya digelar sebagai ‘gong pembuka’ haul. “Penambahan acara haul itu boleh, namun tetap harus diawali dengan Khidiran,” ujarnya.

Acara Khidiran dibuka langsung oleh Pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin, KH. M. Ala’uddin, dan tawasul serta bacaan Khidiran dipimpin oleh Ismail Hamim. Sesuai namanya, tradisi ini berhubungan erat dengan sosok Nabi Khidir, karena doa-doa yang dibaca dalam Khidiran diijazahkan oleh Nabi Khidir atau yang dikenal dengan wirid musabbiat al-asyrah.

Dengan mengutip kitab Ihya Ulumuddin, KH. M. Ala’uddin menjelaskan ada banyak sekali fadhilah dari istikamah membaca wirid al-musabbiat al-asyrah, salah satunya adalah menghentikan catatan amal perbuatan buruk. “Allah menyuruh malaikat Nakir untuk berhenti mencatat dosa-dosa dari orang yang istikamah mengamalkan wirid al-musabbiat al-asyrah,” jelasnya, menambahkan wirid al-musabbiat al-asyrah juga dapat menghindari bala dan musibah bencana.

“Semoga dijauhkan dari musibah, mendapat barokah dari shohibul haul, yaitu KH. Sholih Tsani,” harap KH. M. Ala’uddin.

Namun, agak berbeda dengan al-musabbiat al-asyrah, Khidiran di Pondok Pesantren Qomaruddin membaca Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, Al-Kafirun dan seterusnya. Sementara al-musabbiat al-asyrah, urutannya adalah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, Al-Kafirun dan seterusnya.

Bubur Khidiran

Sakralitas Bubur Khidiran Khas Haul KH. M. Sholih Tsani

Di samping waktu pelaksanaan dan bacaannya, tradisi Khidiran juga mempunyai sakralitas sajian, yaitu bubur khidiran. Sedikitnya ada empat hal yang membuat bubur khidiran itu bukan bubur sembarangan: pertama, bubur khidiran harus dibuat oleh seorang perempuan yang sudah menopause. Kedua, selain menopause, perempuan itu harus berstatus janda.

Ketiga, pada saat pembuatannya, sang juru masak harus melakukan dua puasa, yaitu puasa makan dan puasa bicara. Di saat yang sama ia juga diharuskan merapal doa-doa. Pertama bertawasul. Lalu dilanjut istighfar. Dilanjut tahlil. Lalu membaca audzu bikalimati (dst), bismillahi la yadlurru, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, ayat kursi, selawat bariyah, masing-masing 11x. Jika bacaan doa khidiran telah tuntas namun bubur belum juga selesai, maka juru masak melanjutkan membaca sholawat sampai bubur itu selesai.

Karena itu, pembuatan bubur khidiran perlu dilakukan di ruangan khusus karena harus menyepi. Menurut Barotut Taqiyah, di masa silam, bubur khidiran dibuat di dapur ndalem. “Dulu di dapur ndalem ada yang namanya sepen, ruangan kecil. Dulu di situ buatnya. Untuk menghindari gangguan. Sekarang di rumah Pak Ibrahim,” ujarnya.

Sakralitas Bubur Khidiran Khas Haul KH. M. Sholih Tsani

Hj. Ahsanatul Munawwaroh atau akrab disapa Bu Yayuk, perempuan yang saat ini bertugas sebagai juru masak bubur, menjelaskan bahwa ruangan khusus itu dulu memang sengaja dipilih agar tidak menyulitkan juru masak karena syaratnya yang tidak boleh berkomunikasi dengan orang. Selain itu, juru masak juga harus fokus menghitung jumlah bacaannya agar tidak terlewat/lupa.

Keempat, bubur terdiri dari tujuh macam; dengan lima komponen utama: ketan putih, ketan kuning, bubur merah, bubur putih, santan; dan dua topping: enten-enten, dan dadar.

Kelima, tanpa garam. Karena itu, menurut Bu Yayuk, tata cara memakan bubur khidiran yang benar itu dilakukan secara langsung; tujuh macam, tidak satu-satu. “Jadi saat makannya itu ya langsung tujuh macam itu, tidak bubur putih sendiri, merah sendiri, tapi langsung tujuh macam,” terang Bu Yayuk.

Keenam, tidak boleh dicicipi oleh juru masak. “Termasuk si pembuat ini (juru masak -red), tidak tahu rasanya. Karena tidak boleh mencicipi,” tutur Bu Yayuk.

Dalam sejarahnya, berdasarkan pemahamannya Hj. Barotut Taqiyah, setidaknya terdapat beberapa perempuan yang pernah membuat bubur sakral ini: 1) Mbok Kanah (tukang yang dulu bertugas membawakan kursi KH. Ismail); 2) Mbah Asiyah; 3) Mbah Muslihah; 4) Bu Lilik Mafiyah; dan 5) Bu Yayuk.

“Yang jelas, yang membuat menu-menu, itu yang nyuruh turun temurun dari Mbah Mail (KH. Ismail),” terang perempuan putri dari KH. Ahmad Muhammad Al-Hammad tersebut.

Selain itu, Bu Barotut juga mengutip tradisi lain sebelum haul: dulkadiran, yang juga mempunyai sajian khas tersendiri, yaitu nasi gurih dan gule. “Hidangan yang sudah ada, jangan dihilangkan,” imbuhnya.

Artikel Terkait

Leave a Comment