Catatan Rembuk FQ #1; Esensi Thoharoh dan Air

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Qomaruddin.com – Gerombolan kaum muda pada Selasa (30/07/2024) malam berkumpul di sampiran Langgar Agung Sampurnan. Sambil membopong kitab, mereka duduk melingkar tapi tak simetris atau tak beraturan. 

Atiq Mujahid, ustaz muda asal Mengare tiba-tiba melantunkan pembukaan pidato dengan fasih, bak seorang MC kondang nikahan. “Baiklah, monggo, M. Fajrul falah, membaca kitab,” perintah Atiq mengakhiri lantunan pembukaan. Mau tidak mau, M. Fajrul falah maju sambil bawa kitab. “Kok iso aku?” kesalnya. Tapi tetap maju – maaf, penulis tau lingkaran tidak punya depan, jadi maju di kalimat itu bukan ke depan. 

Pemuda asal Lamongan itu membuka dan membaca kitab Fathul Qorib. Dimulai dari membaca Muqaddimah, dilanjut bab Thoharoh. Plus arti dan maknanya tipis-tipis. Yang lain mengikuti dan menyimak. Tak jarang, Sang Pembaca itu ‘dibetulkan’ secara sopan bacaan dan maknanya. 

Setelah membaca matan bab Thoharoh, Ustaz Atiq langsung memotong, “Monggo, mungkin ada yang mau ditanyakan, atau disanggah?”

Pertanyaan-pertanyaan muncul. Tak jarang, satu pertanyaan menurunkan pertanyaan lain. Lalu menurunkan pertanyaan lain. Sambung-menyambung pertanyaan menjadi satu, itulah inti dari acara Rembuk FQ #1 pada malam yang renyah. 

Pertanyaan pertama perihal Dhommun dan Jam’un, yang sama-sama berarti berkumpul. Setelah rembuk ‘akur’, diputuskan bahwa kalau dhommun itu berkumpul menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sementara Jam’un itu berkumpul dengan makna yang lebih luas.

Pertanyaan kedua mempermasalahkan arti terminologi Thoharoh, ‘fi’lu ma tustabahu bihis sholatu’. Kenapa fi’lu? Apa itu maksudnya berhubungan dengan sah tidaknya sholat? Kenapa sholatu ibadah lainnya seperti thowaf, dll. 

Pasca 30 menitan rembuk penuh sopan santun, diputuskan: fi’lu di sini berarti makna yang lebih luas. Tidak harus fi’lunya saja. Ilmu juga masuk. Selain itu, Fathul Qorib juga merupakan kitab untuk pemula jadi mungkin karena itu tidak diterangkan secara terperinci. Ini juga menjadi jawaban tentang kenapa sholatu saja yang dituliskan, tidak ibadah lain. 

Kemudian thoharoh tidak berhubungan dengan sah tidak sholat, hanya ‘diperkenankan’ sholat. Untuk sah tidaknya sholat, beda urusan. Di tengah-tengah diskusi beradab itu, Pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin, KH. M. Alauddin datang dan ikut rembuk.

Setelah KH. Alauddin rawuh, Falah melanjutkan membaca perihal Ma’. Di titik ini, rembuk terpuji menjadi memanas. Setidaknya ada dua hal yang menjadi persoalan, yaitu: perihal Bardu, apakah itu embun yang di pagi hari itu (nida’), atau hujan es, dan bagaimana cara menggunakannya untuk thoharoh.

Berbagai kitab menjelaskan berbeda-beda. Dalam kitab Al-Bajuri dijelaskan kalau Bardu itu semacam air yang turun dari langit, dan dingin. Ini bisa mirip dengan hujan es dalam fenomena yang pernah terjadi beberapa tahun lalu di Indonesia. Tapi dalam referensi lain, memang bardu itu artinya embun, atau semacam hasil kondensasi di mana uap air saking dinginnya hingga berubah menjadi air.

Diskusi macet sementara. Karena saling bertentangan. Jika embun, berarti bardu bukan kategori nazala minas sama’, kalau hujan berarti masuk kategori itu. 

Kopi diseruput. Asap mengepul. Lempar-melempar buah pikir terjadi. Muncul juga persoalan ‘tsalji’. Repot. Jual beli imajinasi juga terjadi, mengingat hampir semua gerombolan itu tak pernah bertatap muak dengan ‘tsalji’.

KH. Ala’uddin menjelaskan bahwa perlu disadari bahwa kitab ini dibuat tidak dari Indonesia dan pada tahun yang lalu. Perihal bardu, bisa saja kini mengalami penyempitan atau perluasan makna, seperti kata ‘laban’ yang biasanya diartikan ‘susu’ tapi kini orang arab menggunakan ‘laban’ untuk yogurt. Akhirnya, rembuk penuh bersusila itu bersepakat, bardu adalah ‘banyu adem’ dengan bentuk dan rupa yang sedemikian.  

Juga perihal cara menggunakan ma’ tsalju, KH. Alauddin menerangkan bahwa tidak mungkin salju yang masih beku itu diusapkan langsung ke muka, karena itu akan langsung menempel. Jadi cara menggunakannya adalah dicairkan dulu. Begitu juga dengan ma’ bardu. 

Setelah malam menua, rembuk beradab itu kemudian berakhir, dengan ditutup doa oleh KH. Ala’uddin.

Artikel Terkait

Tags

Leave a Comment