“Selama langgar iki gak digawe acara, Rasan-rasan Kitab tetep masuk” Ucap Agil setelah meminta maaf karena rembuk rutinan sempat libur. Rasan-rasan kitab genap memasuki edisi ke-16 (26/11/24) setelah sempat libur karena bertepatan dengan acara besar pondok – Haul K.H. M. Sholih Tsani – minggu lalu.
Tak terasa, usia rutinan hampir memasuki edisi sweet seventeennya minggu depan. Setelah cukup lama membredeli bab-bab yang berkenaan dengan air, macam air, wudhu dan mandi, pada edisi kali ini majelis mulai menapaki bab baru mengenai perdebuan alias Tayammum.
Disamping kehadiran para pemain inti seperti Agil, Atiq dan Fajar, serambi langgar juga diramaikan oleh belasan santri pondok yang secara sukarela meluangkan waktu istirahat mereka. Dengan dinakhodai oleh Agil perjalanan malam itu dimulai.
Kombo apik antara Fajar dan Atiq dalam menjelaskan Bab Tayammum menghasilkan beberapa pertanyaan esensial yang cukup menarik. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut mereka berdua menguraikan simpul penting perihal syarat dan rukun tayamum.
Pertama dan yang paling banyak mendapat pertanyaan yaitu fasal mengenai syarat tayammum. Meski hanya terdapat lima poin, tetapi hal ini cukup menggelitik keingintahuan para alumni dan santri pondok untuk menyimpulkan pertanyaan yang cukup liar.
Adapun syarat tayammum dalam Fathul Qorib antara lain 1) adanya udzur/halangan seperti musafir atau sakit; 2) Dilaksanakan ketika masuknya waktu Sholat; 3) Sudah mencari air baik dilakukan sendiri atau diwakilkan; 4) Memiliki kondisi yang membahayakan jiwa atau tubuh jika menggunakan air; dan 5) menggunakan debu yang suci serta debu tidak dalam keadaan basah/lembap.
Dari sinilah kemudian Agil mulai mengubah manuver diskusi menjadi lebih menarik. Ia mengulas satu persatu apa saja yang telah disampaikan oleh Fajar dan Atik sembari menyuguhkan kesempatan untuk bertanya. Dari kelima syarat yang telah dijelaskan tampaknya poin pertama – syarat karena udzur – cukuplah jelas. Begitu pula dengan poin kedua mengenai harus dilakukan ketika akan masuk waktu sholat.
Namun pada poin selanjutnya – keharusan mencari air – Fajar menambahkan sedikit catatan kaki. Dalam Fathul Qorib dijelaskan dalam mencari keberadaan air terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan. Apabila orang itu berkelompok, ia harus mencari sampai pada titik sudah meninggalkan rombongannya. Namun jika sendirian ia harus melihat bagaimana bentuk medan yang sedang ditempatinya. Jika berada di hamparan yang luas maka cukuplah bagi dia hanya dengan melihat ke segala arah. Namun jika ia berada pada tempat yang kontur tanahnya naik turun ia harus memposisikan diri pada tempat di mana pandangannya tidak terhalang.
Perihal syarat kali ini, salah satu santri aktif yang juga turut hadir menyodorkan sebuah contoh kasus kepada Atiq. “Kalau di Bungah tidak ada air, tapi di Sembayat ada. Terus waktu shalat sudah mepet mau habis. Apakah bisa menggunakan tayammum?” Tanya santri itu kepada pembaca dengan sedikit sungkan.
Menurut Atiq, dalam contoh kasus tersebut harus diperhatikan beberapa hal terlebih dahulu. Faktor seperti ketersediaan air di Sembayat apakah bisa digunakan untuk wudhu. Atau apakah sudah benar-benar yakin kalau di Sembayat memang ada air untuk wudhu. Menjadi koreksi balik kepada penanya, karena jika kedua hal tersebut sudah pasti – yakin ada air dan jumlahnya cukup banyak—maka tidak boleh dilakukan tayammum. Mengenai bagaimana tata cara sholatnya, itu menjadi bahasan lain.
Dirasa sudah cukup menjawab pertanyaan, Agil melanjutkan penjelasan ke syarat keempat dan kelima – air dapat membahayakan jiwa dan penggunaan debu yang suci untuk tayamum –. Tampaknya seperti halnya poin pertama, poin keempat juga dirasa cukup jelas tanpa perlu penjelasan lain.
Namun, pada pembahasan penggunaan debu untuk tayammum, lagi-lagi Atiq menodongkan pertanyaan yang cukup frontal ke majelis. “Bagaimana hukumnya tayammum di dalam pesawat? Apakah sah?” ia menyandera Agil dan Fajar dengan pertanyaan sembari menatap tajam penuh dengan senyum jahat. Pertanyaan ini ia layangkan karena, jangankan di pesawat, di dalam kendaraan seperti bus saja kita jarang menemui debu yang dapat terbang atau dalam bahasa Jawa mbeleduk.
Dibalas dengan senyuman, dua master lulusan universitas itu, Agil dan Fajar, memutar otak. Salah satu di antara mereka berpendapat jika memang demikian maka status dari sholat orang yang tayammum di dalam pesawat adalah li hurmatil waqti. Sehingga ia wajib mengganti sholatnya ketika mendarat.
Masih merasa kurang puas memplokotoi temannya, Atiq membuat pertanyaan lain lagi. Kali ini ia menanyakan bagaimana hukumnya tayammum dengan menggunakan serbuk kayu halus. Hal ini bersangkutan juga dengan pemaknaan kata تُرَابٍ (turaab) apakah diartikan sebagai tanah atau semua yang berasal dari tanah yang bisa menjadi debu (mbleduk).
Merasa dongkol karena terus dicecar pertanyaan berat oleh Atiq, Agil dan Fajar tetap berusaha memberikan jawaban. Mereka sepakat jika serpihan kayu tersebut sempat jatuh dan terhampar di tanah maka masih bisa digunakan untuk tayammum karena sudah tercampur dengan debu tanah.
Meski begitu pertanyaan pun terus memanjang sampai menjadi “Bagaimana jika serbuk kayu menempel di kaca atau batang pohon apakah masih bisa?”. Setelah terjadi beberapa silang pendapat akhirnya majelis mengambil jawaban yang diterima Agil sebagai kesepakatan akhir.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 22:30. Setelah menerka-nerka waktu 30 menit masih cukup untuk meneruskan acara, Fajar melanjutkan pembacaan fasal selanjutnya mengenai kefardhuan tayammum.
Entah karena sudah mulai merasa ngantuk atau memang pembahasan fasal ini sudah jelas, tidak banyak pertanyaan yang diajukan pada sesi terakhir. Adapun kefardhuan tayammum sendiri ada empat 1) Niat yang dikrentek saat mulai mengambil debu sampai menyentuh wajah; 2) Mengusap wajah dengan debu; 3) Mengusap kedua tangan dari ujung jari sampai sikut dan 4) Tartib.
Dengan begitu pun acara berakhir ditutup dengan pembacaan do’a kafarotul majlis. Meski dalam pelaksanaan masih banyak pertanyaan yang tidak sempat ditulis di artikel ini. Namun tampaknya pertanyaan di atas cukuplah mewakili keseruan yang dialami selama kegiatan Rasan-rasan Kitab.
Pertanyaan seperti ‘apakah kita tayammum lagi jika ingin sholat sunnah setelah sholat fardhu’ atau ‘bagaimana mengatasi masalah tayammum di dalam pesawat’ atau ‘bagaimana status tayammum guru relawan yang berada di wilayah sulit air’ tidak lah sempat tertuangkan pada tulisan ini karena banyak keterbatasan. Baik karena penulis atau karena pembahasan yang sensitif.
Untuk itulah pada kalimat terakhir ini, kami turut mengundang pembaca untuk merasakan keseruan acara secara langsung pada acara Rasan-rasan Kitab selanjutnya yang berada di tempat dan waktu yang sama, Langgar Sampurnan di jam 21:00. (Zaim)