Catatan Rembuk FQ #17; Bertayammum Dengan Media Sapu Tangan

Qomaruddin Media

Qomaruddin Media

Dengan malu-malu, para santri sesekali mengintip ke arah serambi utara dari dalam Langgar Agung. Di dalam, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk ujian sekolah besok. Aura kolektif mereka dalam belajar begitu terasa hingga membuat gerombolan manusia yang sedang duduk di serambi ikut terpengaruh.

Empat meja panjang disusun gerombolan tersebut membentuk persegi empat. Siap untuk beradu ilmu dalam Rasan-rasan kitab edisi ke-17 (03/12/24).

Meski besok ujian sekolah akan dilaksanakan, terlihat beberapa santri menyempatkan diri ikut nimbrung dalam rembuk mingguan itu. Percakapan pecah di antara mereka. Saling menanyakan tentang fasal apa yang akan mereka preteli malam ini.

Dengan mata yang terkunci pada lembaran kertas berwarna kuning, Agil mengingatkan kalau kali ini mereka akan menuntaskan bab tayammum. Kali ini mereka akan membahas mengenai sunnah tayammum, hal yang membatalkan tayammum, bersucinya orang memakai perban dan ibadah yang dapat dilakukan dengan tayammum.

Melihat kebiasaan majelis yang seringnya hanya membahas satu dua fasal dalam satu pertemuan, mereka syak untuk bisa menyelesaikan seluruh materi malam ini. Namun dengan dibacakannya kalimat pertama, mereka mau tidak mau harus menerima tantangan kali ini.

Wa sunanuhu, ay tayammumi, merupakan kalimat pertama yang dibacakan. Petunjuk mereka akan memulai perjalanan malam dengan membahas bab kesunahan dalam tayammum. Terdapat tiga kesunahan yang dimiliki tayammum, mendahulukan mengusap wajah; melepaskan cincin pada basuhan pertama dan muwalah.

Untuk kesunahan kedua, melepas cincin, dilakukan pada saat kita membasuh wajah. Sedangkan untuk basuhan kedua, pada saat membasuh tangan, sebuah cincin wajib dilepas supaya tidak ada yang menghalangi interaksi debu dan kulit. Akan tetapi jika cincin yang dipakai longgar tidak ada keharusan untuk melepasnya, selama debu dapat menjangkau permukaan kulit.

Kesunahan muwalah atau nuli-nuli, memiliki kriteria yang sama dengan seperti wudhu. Jika pada wudhu batas dari muwalah adalah keringnya air dari basuhan sebelumnya maka pada tayammum batasan tersebut tercipta dari estimasi waktu air wudhu yang mengering itu.

Pada akhir pembahasan, sempat hadir suatu pertanyaan yang sedikit mengulik materi rembuk minggu lalu mengenai kriteria debu tayammum. Minggu lalu sudah jelas bahwa penggunaan debu yang basah atau jemek tidak bisa diaplikasikan untuk tayammum. Namun bagaimana jika debu yang kering tersebut digunakan tayammum ketika sedang berkeringat.

Jawaban seperti menyeka terlebih dahulu keringat sebelum tayammum mungkin menjadi jawaban pertama dari pertanyaan tersebut. Tapi bagaimana jika tidak diseka? Apakah tayammumnya tidak sah?

“Terus masalah apa?” Atiq meminta penanya memperjelas pertanyaannya. Ia beranggapan meski keringat tidak diseka tayammum seseorang tetaplah sah. Jika adapun masalah perihal bisa tidaknya debu tersebut bisa diratakan, hal itu bisa di ‘akali’ dengan mengambil debu lagi dan mengusapkannya ke bagian yang dirasa belum terkena debu.

Dikira sudah cukup mengulik seputar kesunahan tayammum, pembahasan dilanjutkan ke fasal selanjutnya. Kini mereka mulai menapaki sebab-sebab batalnya tayammum.

Seperti kesunahannya, terdapat tiga faktor yang menyebabkan tayammum seseorang itu menjadi batal. Semua yang dapat membatalkan wudhu, mengetahui atau melihat air dan log out alias murtad adalah perkara-perkara yang dapat membatalkan tayammum.

Dari ketiga kategori tersebut, mengetahui atau melihat air merupakan perkara yang cukup mendapat perhatian dalam kitab. Terdapat beberapa ketentuan yang digaris bawahi dalam praktiknya. Tampaknya untuk mempermudah penjelasan hal ini, Atiq membuat sebuah studi kasus untuk menakar pemahaman pendengarnya.

“Semisal ditengah-tengah sholat tiba-tiba kita melihat ada orang lewat membawa air, apakah tayammum kita batal atau tidak?” tanya Atiq dengan ekspresi usil.

Dalam memutuskan batal tidaknya sebuah tayammum dalam kondisi ini, perlu diperhatikan apakah kita sedang dalam keadaan mukim atau musafir. Apabila sedang dalam perjalanan/musafir tayammum kita tidaklah batal. Akan tetapi jika kita seorang mukim/penduduk tetap maka tayammumnya menjadi batal. Namun status tayammum untuk orang mukim sendiri masih memiliki pertimbangan lain, karena Mukim sendiri memiliki dua kategori dalam persoalan ini.

Kategori pertama jika seseorang mukim di daerah yang notabenenya pada saat itu selalu ada air maka tayammum dari kasus diatas menjadi batal. Lain lagi ceritanya jika di daerah tersebut memang sering terjadi kelangkaan air setiap tahunnya maka status tayammum orang tersebut tetaplah sah. Namun perlu diingat kembali hal ini hanyalah berlaku untuk orang yang tayammum karena absennya air bukan karena sakit.

Masih tenggelam dalam memahami perkara ini, Gus Malik membenamkan khalayak ke dalam pemahaman lebih dalam mengartikan dari ‘mengetahui keberadaan air’. Ia menambahkan jika seseorang melihat fatamorgana atau melihat tanda-tanda keberadaan sumber air dapat juga membatalkan tayammum seseorang.

Menyadari perkataannya membawa masalah baru ke dalam sesi diskusi yang sudah runyam. Ia lantas memberi recehan pesangon untuk memahami konsep ‘mengetahui keberadaan air’. Mengetahui di sini dapat memiliki lima tingkatan yaqin (100% yakin); dhon (>50% yakin); shaq (50% yakin); wahm (<50% yakin) dan jahl (0% yakin). Dan dari kelima kategori tersebut hanya wahm dan jahl saja yang tidak membatalkan tayammumnya seseorang andai ia menduga adanya air.

Penjelasan dari Gus Malik tampaknya menjadi titik pungkas dari pembahasan perkara batalnya tayammum. Namun sebelum beranjak membahas fasal selanjutnya beberapa pertanyaan masih terus bermunculan. Dan di antaranya pertanyaan mengenai ‘cara tayammum orang buntung’ menjadi pusat badai selanjutnya.

Bukan kali pertama pertanyaan seperti ini di ajukan oleh para member Rasan-rasan Kitab. pada bab wudhu pertanyaan ini juga pernah diungkapkan. Kala itu jawaban seperti ‘seseorang disabilitas pasti memiliki caranya sendiri’ menjadi penutup diskusi. Namun kali ini pertanyaan tersebut dikira cukup relevan dengan persoalan lain sehingga diskusi pun dilakukan.

Salah satu yang menjadikan hal ini relevan adalah konsep tayammum yang mengharuskan seseorang untuk mengentrok debu sebelum diusapkan membuatnya muskil dilakukan oleh orang tidak memiliki tangan.

Untuk menjawab masalah ini, Atiq memiliki sebuah solusi yang cukup menarik untuk dilakukan. Menurutnya hal ini dapat di atasi dengan bantuan media seperti sapu tangan. Dengan meletakkan sapu tangan di atas permukaan yang berdebu dan mengibas-ngibaskannya debu yang berada di sapu tangan sudah dapat digunakan untuk tayammum.

Ustadz muda ini juga berpendapat cara ini pun dapat digunakan untuk orang-orang yang menaiki pesawat. Di mana sulit menemukan permukaan benda yang memiliki debu yang mbeleduk.

Sebenarnya pembahasan pada malam itu masihlah cukup panjang. Apalagi fasal selanjutnya membahas mengenai shahibul jaba’ir — orang yang diperban – yang terbilang cukup rumit dan fasal ibadah yang dapat dilakukan dengan tayammum.

Oleh karena itu pembahasan mengenai kedua fasal tersebut akan ditulis dalam tulisan yang terpisah untuk dieksplorasi lebih tuntas, terutama perihal shahibul jaba’ir.

Penulis: Zaim / Editor: Qom.

Artikel Terkait

Leave a Comment