Nyai-Nyai Sampurnan dalam Bingkai Cerita

Avatar

Agil Muhammad

yai-Nyai Sampurnan dalam Bingkai Cerita

Qomaruddin.com – Kisah-kisah teladan dari figur para kiai pengasuh Pesantren Qomaruddin relatif lebih mudah dalam pelacakannya. Hanya dengan melihat perkembangan pesantren di masing-masing periode kepengasuhan, kita bisa lebih mudah mengidentifikasi aspek perubahan dan kebijakan yang ada di masa-masa tersebut yang tidak lepas dari perkembangan zamannya. Namun, terkait kisah para bu nyai, kami masih kekurangan data. Anggap saja, tulisan ini hanya sekedar ‘pemantik’ agar bisa dilanjutkan lebih serius di tulisan-tulisan selanjutnya.

Pertama, tulisan ini akan mengisahkan tentang Nyai Hafsah, istri Kiai Qomaruddin. Beliau adalah putri dari sepupu Kiai Qomaruddin, yakni Kiai Abdul Qahhar. Nyai Hafsah telah menemani Kiai Qomaruddin cukup lama, sejak mendirikan pesantren di Kanugrahan, kemudian ke desa Moro, pindah lagi ke Wantilan, hingga sampai akhirnya menetap di Sampurnan. Nyai Hafsah sangat berperan dalam mempertahankan eksistensi Pesantren Sampurnan terutama dalam sisi merawat dan mengkader Kiai Harun (Kiai Sholeh Awwal) sebagai penerus pengasuh pesantren selanjutnya. Bahkan, dalam penentuan istri dari Kiai Harun, karena Kiai Qomaruddin sudah wafat, Nyai Hafsah menyarankan agar Kiai Harun muda mencari calon istri dari arah utara Sampurnan, yang pada akhirnya beliau menikah dengan Nyai Murtadliyah dari Sidayu.

Selain mengkader Kiai Harun, pasca wafatnya Kiai Qomaruddin, beliau bersama putranya, Kiai Ismail, menggantikan posisi Kiai Qomaruddin dalam memimpin Pesantren Sampurnan, yakni mendidik para santri dengan kitab-kitab kuning sebagaimana yang dilakukan Kiai Qomaruddin sebelumnya. Jenazah Kiai Qomaruddin bisa dimakamkan di belakang Langgar Agung adalah atas permintaan Nyai Hafsah sesuai wasiat suaminya. Pasalnya, Kiai Qomaruddin wafat ketika sedang berkunjung ke Gresik, dan Tumenggung Tirtorejo meminta agar jenazah Kiai Qomaruddin dimakamkan di komplek pemakaman Gresik pula.

Tokoh selanjutnya adalah Nyai Murtadliyah, istri Kiai Harun. Beliau merupakan putri dari Kiai Walidin Sidayu. Dari sinilah, Pesantren Sampurnan termasuk dalam jaringan keluarga Mbah Onggoyudho Sedayu. Tokoh-tokoh besar dalam jaringan keluarga ini di antaranya adalah KH Faqih Maskumambang (Wakil Rais Akbar NU pertama), KH Ridwan Abdullah (pencipta lambang NU), dan KH Ma’shum Ali Jombang (pengarang Amtsilah Tashrifiyyah). Selain menemani Kiai Harun dalam mengasuh pesantren, peran besar dari Nyai Murtadliyah adalah mengkondisikan kepengasuhan pesantren pasca wafatnya Kiai Harun. Setelah wafat Kiai Harun, Pesantren Sampurnan diasuh oleh menantunya, Kiai Basyir. Baru, pasca wafatnya Kiai Basyir, Pesantren Sampurnan sempat mengalami kekosongan pengasuh. Pasalnya, putra-putra beliau, yakni Kiai Murtadlo dan Kiai Abdurrahim sudah tidak menetap di Sampurnan. Akhirnya, Nyai Murtadliyah meminta pada menantunya sekaligus keponakannya, Kiai Musthofa, agar berkenan tinggal dan memimpin Pesantren Sampurnan yang pada saat itu beliau sedang menetap di Sidayu.

Nyai Syarifah, beliau adalah putri dari Kiai Harun dan Nyai Murtadliyah. Beliau lah yang menemani Kiai Basyir sebagai istri dan pengasuh Pesantren Qomaruddin setelah Kiai Harun. Peran lain beliau di Sampurnan, -sepengetahuan penulis-, adalah sebagai sumber informasi sejarah Sampurnan. Kiai Abdurrahman, sebagai pencatat sejarah Sampurnan, banyak mendapatkan informasi tentang sejarah, momen-momen penting, dan silsilah keluarga dari Nyai Syarifah. Beliau sendiri mendapatkan informasi sejarah tersebut dari ibunya, Nyai Murtadliyah, yang bersumber dari Nyai Hafsah, neneknya dan istri Kiai Qomaruddin

Nyai Rosiyah, beliau merupakan adik dari Nyai Syarifah dan putri dari Kiai Harun dan Nyai Murtadliyah. Beliau diperistri oleh K. Abu Ishaq Madyani Rengel Tuban, tokoh Sampurnan yang cukup produktif dalam menulis dan menyalin karya kitab. Di antara karya beliau adalah kitab tafsir Tibyan al-Asrar dan kitab hadis Arba’in Madyani. Kegemaran beliau dalam menyalin dan menulis kitab ini ditiru dan dilanjutkan oleh putranya, Kiai Sholeh Tsani, yang telah menyalin beberapa kitab dan menulis kitab nadzaman Qashidah li al-Shibyan dan Risalah fi al-Shaum. Sudah tentu, guru pertama dari Kiai Sholeh Tsani adalah kedua orang tuanya, yang telah mendidik dan membentuknya sebagai salah satu ulama berpengaruh di Sampurnan. Meski tidak tinggal di Sampurnan, pengaruh dari Kiai Abu Ishaq dan Nyai Rosiyah masih sangat terasa di Sampurnan, Dari jalur K. Abu Ishaq ini, Pesantren Sampurnan bersambung dengan jaringan keluarga Syekh Syihabuddin Padangan, Bojonegoro. Di antara tokoh besar yang berasal dari keluarga ini adalah Syekh Sulaiman Kurdi (ulama yang menetap di Hijaz dan mengajar di Makkah), dan KH Zainuddin Mojo, Nganjuk (salah satu ulama yang dikenal kewaliannya dan banyak mengkader ulama). 

Nyai Asiyah, beliau juga putri dari Kiai Harun dan Nyai Murtadliyah, sekaligus adik dari Nyai Syarifah dan Nyai Rosiyah. Beliau diperistri oleh sepupunya sendiri, Kiai Musthofa. Nyai Asiyah merupakan putri dari Nyai Murtadliyah binti Kiai Walidin, sementara Kiai Musthofa merupakan putra Kiai Samurah bin Kiai Walidin. Pada mulanya, beliau mengikuti suaminya dan menetap di Sidayu. Namun, pasca kekosongan Pesantren Sampurnan, beliau bersama suaminya diminta ibunya, Nyai Murtadliyah, agar menetap di Sampurnan untuk sementara sambil ikut mendidik para santri Sampurnan. Sebagai mertua sekaligus bibi dari Kiai Sholeh Tsani, peran beliau dalam mengkader penerus pengasuh pesantren bisa dengan mudah kita temukan. Kemudian, setelah Kiai Sholeh Tsani siap untuk mengasuh pesantren, Nyai Asiyah bersama suaminya kembali ke Sidayu melanjutkan dakwah di sana. Dari jalur Kiai Musthofa ini, Pesantren Sampurnan terhubung dengan keluarga KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam NU kedua) dan KH. Bisri Syansuri (Rais Aam NU ketiga).

Nyai Mushlihah, istri dari Kiai Sholeh Tsani sekaligus sepupunya, yakni putri dari Nyai Asiyah. Pada mulanya, Kiai Sholeh Tsani sempat ditawari sebagai menantu oleh keluarga Pesantren Ndresmo. Namun, beliau disarankan ibunya, Nyai Rosiyah, untuk menikahi sepupunya sendiri, Nyai Mushlihah. Pilihan penting Kiai Sholeh Tsani untuk mempersunting Nyai Mushlihah merupakan pilihan yang tepat. Pasalnya, pada saat itu, Kiai Musthofa, mertuanya, sedang ditunjuk untuk memimpin Pesantren Sampurnan, dan pesantren sendiri membutuhkan sosok kiai yang bisa melanjutkan kepemimpinan pesantren. Hal ini terbukti setelah kepulangan Kiai Sholeh Tsani ke Sampurnan, beliau langsung ditunjuk oleh Kiai Musthofa untuk memimpin pesantren, sementara Kiai Musthofa sendiri memutuskan kembali berdakwah di tempat asalnya, Sidayu. Peran Nyai Mushlihah juga bisa dilihat dalam mendidik putra-putrinya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren, seperti Kiai Ismail, sebagai pengasuh Pesantren Qomaruddin selanjutnya.

Nyai Zainab, beliau merupakan istri Kiai Ismail juga putri dari Kiai Abdul Karim Tebuwung dan Nyai Khodijah binti Nyai Ruqoyyah binti Kiai Harun. Jadi, Nyai Zainab masih tergolong sepupu mindoan dengan Kiai Ismail. Kiai Ismail sendiri dikenal dengan Kiai Mushtofa Kranji ketika sama-sama nyantri di Pesantren Demangan yang diasuh oleh Kiai Kholil Bangkalan. Uniknya, dua sahabat ini akhirnya saling ‘bertukar adik’, dalam artian bahwa Kiai Ismail menikahi adik Kiai Musthofa yang bernama Nyai Zainab, sementara Kiai Musthofa memperistri adik Kiai Ismail yang bernama Nyai Aminah. Latar belakang Nyai Zainab yang merupakan putri dari seorang kiai pengasuh pesantren menjadikannya terbiasa dalam mendidik santri dan menemani sang suami yang juga seorang kiai pengasuh pesantren.

Nyai Khodijah, istri dari Kiai Sholeh Musthofa (Kiai Sholeh Tsalis) yang masih sepupunya sendiri, sekaligus putri dari Kiai Ismail dan Nyai Zainab. Pernikahan Nyai Khodijah dengan Kiai Sholeh masih merupakan kelanjutan dari persahabatan kedua ayahnya, yakni Kiai Ismail dan Kiai Musthofa Kranji, yang akhirnya ber-besan-an. Semenjak menikah dengan Nyai Khodijah, Kiai Sholeh memutuskan untuk pindah ke Sampurnan dan ikut membantu mertuanya dalam memimpin pesantren. Nyai Khodijah yang sejak kecil dididik di lingkungan Pesantren Sampurnan menjadikannya teruji dan berkompeten dalam mendidik para santri bersama suaminya. Ini terbukti pada berdirinya sistem madrasah pertama kali di Sampurnan dalam kepemimpinan beliau. Pada era Kiai Sholeh ini pula, Pesantren Sampurnan mulai dikenal dengan nama Pesantren Qomaruddin, sebagai pengingat atas sosok Kiai Qomaruddin sebagai pendiri pesantren yang –bi aunillah– masih bisa bertahan hingga saat ini.

Nyai Zainab, istri Kiai Ahmad Muhammad Al-Hammad bin Kiai Sholeh Mushtofa. Beliau juga merupakan ibu radla’ Kiai Alauddin, pengasuh Pesantren Qomaruddin sekarang. Secara nasab, beliau bukan orang lain, melainkan masih keturunan Kiai Qomaruddin dari jalur putrinya, Mbok Thohir. Selama menemani Kiai Ahmad mengasuh pesantren, beliau juga terkenal ramah pada anak-anak sekitar Sampurnan. Menurut penuturan sepupu saya, Cak Harir, ia ketika masih kecil sering main-main ke ndalem bersama Kiai Alauddin kecil, dan selalu diberi makanan atau jajanan untuk menyenangkan anak-anak kecil. Begitu pun penuturan alumni Qomaruddin di Jogja, Cak Zaid, bahwa Nyai Zainab sangat loman pada para santri-santrinya, beliau mendidik dan menyayangi para santri sebagaimana kasih sayang ibu ke anak-anaknya sendiri.

Nyai Mashfiyah, putri Kiai Sholeh Musthofa, adik Kiai Ahmad Muhammad al-Hammad, kakak Kiai Iklil. Sholeh, sekaligus ibu dari Kiai Alauddin. Sosok yang dikenal para santri dengan panggilan “Bu Mas” ini mempunyai santri yang dididik langsung di ndalem beliau. Beliau juga dikenal sebagai spesialisasi fiqh wanita di Sampurnan. Kisah lebih lanjut mengenai Nyai Masfiyah bisa dibaca di majalah ini oleh Gus Farid, putu lambung dari Nyai Masfiyah.

Nyai Afiyah, putri Kiai Zubair bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Sholeh Tsani. Di Sampurnan, beliau terkenal sebagai guru besar al-Quran penerus ayahnya, Kiai Zubair Abdul Karim. Bersama suaminya, Kiai Munawwar Khozin, beliau mendirikan Pesantren al-Munawwarah di dekat Masjid Kiai Gede Bungah. Sosok yang kerap dipanggil “Bu Fiyah” ini telah mencetak banyak santri ahli Alquran, terutama dalam bidang tahfidz dan tilawah Alquran. Prestasi santri-santri beliau sudah dikenal banyak orang karena sering menjuarai lomba-lomba MTQ baik tingkat lokal maupun nasional.

Sebagai tambahan, di Sampurnan, tepatnya di belakang Langgar Agung Sampurnan, terdapat Masjid Kanugrahan khusus perempuan. Pendirian masjid ini diinisiasi oleh permintaan Nyai Mushlihah, istri Kiai Sholeh Tsani, agar kaum wanita bisa ibadah i’tikaf di masjid tanpa harus jauh-jauh ke Masjid Kiai Gede. Tokoh-tokoh nyai Sampurnan yang ikut mengelola Masjid Kanugrahan pasca era Nyai Mushlihah di antaranya adalah Nyai Khoiroh (putri Kiai Ismail), Nyai Afifah (putri Nyai Khoiroh), Nyai Bariroh (putri Nyai Afifah), dan Nyai Maryam Usman. Kisah lebih lanjut tentang Masjid Kanugrahan bisa dibaca di website Qomaruddin.com tulisan Afrizal Qosim.

Terakhir, salah satu tokoh Nyai Sampurnan yang saat ini mempunyai pengaruh besar di Gresik adalah Nyai Aminatun Habibah, putri Kiai Ahmad Muhammad al-Hammad, sebagai Wakil Bupati Gresik. Tidak hanya mendidik para santri dan siswa di sekolah, sosok yang dikenal dengan panggilan “Bu Min’ ini juga berupaya untuk mengabdi pada ranah yang lebih luas, tidak hanya di internal Sampurnan. 

Melihat peran para nyai-nyai Sampurnan dalam menemani suami mendidik para santri, penulis meyakini bahwa beliau-beliau telah menjalankan perannya yang sesuai dengan ungkapan Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, “fa al-mar’ah al-muslimah tusyariku zaujaha fi al-hayat wa tu’inuhu wa tusyiru ‘alaih wa turabbi awladiha al-tarbiyah al-islamiyah al-sahihah”, yakni perempuan muslimah adalah sosok yang menemani suaminya dalam kehidupan, menolongnya, memberinya petunjuk, mendidik anak-anak dan santri-santrinya dengan pendidikan Islam yang benar.

Artikel Terkait

Leave a Comment